Abdul Rivai Ras
Pendiri Universitas Pertahanan dan
Pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Pasca Perang Dingin, terjadi sejumlah perubahan lingkungan strategis, dimana terdapat fenomena bersatunya mayoritas negara-negara di dunia, baik berkembang maupun maju.
Persatuan tersebut terjadi karena adanya kebingungan menghadapi tantangan keamanan dan ekonomi yang terus bergerak dengan masif secara nasional, regional dan global, sehingga arti penting kedaulatan mulai berkurang, bahkan nyaris tanpa batas (borderless).
Berbicara tentang bela negara dihadapkan pada era disruptif, tentunya membutuhkan kecermatan untuk memaknainya. Bela negara bukanlah sekedar gerakan hanya berbasis pada domestik yang berjuang membela kepentingan nasional secara derivatif dan terbatas pada elemen tertentu, tetapi dituntut untuk saling menguatkan diantara entitas penghuni alam jagat raya ini agar pembangunan terus berkesinambungan.
Pengertian bela negara tentu berbeda dengan pertahanan, namun dalam arti luas bela negara menjadi urusan yang tidak saja membela negara di negeri sendiri, tetapi bagaimana ikut serta dalam membela kepentingan nasional di tingkat global, khususnya dalam mengatasi tantangan bersama yang berhubungan dengan ancaman baru serta dilema dunia digital.
“Apa Bela Negara itu?”
Dalam pandangan generik bangsa Indonesia, bela negara adalah konsep yang didefinisikan dengan undang-undang atau keputusan politik negara tentang patriotisme seorang individu, kelompok, atau komponen lain dari suatu negara. Tujuannya adalah mempertahankan eksistensi dan kedaulatan negara baik dari fisik maupun non-fisik.
Perlu dicatat dari tujuan bela negara tersebut hampir sama dengan upaya pertahanan yang juga menekankan pada masalah urusan kedaulatan. Padahal bentuk bela negara masa kini, upaya pembelaan yang berkembang tidak hanya masalah negara tetapi juga masalah non-negara yang mencakup keselamatan manusia yang menjadi bagian dari keamanan global.
Demikian halnya bela negara bila dilihat dari sisi upaya menjaga kesinambungan pembangunan, suka atau tidak, konsep inter-dependensi dan interaksi dengan negara lain menjadi mutlak. Pembelaan negara tidak boleh berhenti di wilayah kedaulatan sendiri atau hanya bersifat domestik, melainkan bersifat transnasional.
Untuk itu, esensi bela negara tidak lagi sekedar bersifat konvensional, tetapi bersifat non konvensional yang mampu menjangkau urusan negara secara internasional, serta dapat dikonversi pada tingkat lebih tinggi yakni “bela dunia”. Isu sentral bela negara mulai bergeser dan menempatkan masalah kemanusiaan, lingkungan, kesinambungan pembangunan dan perdamaian global menjadi kebutuhan.
“Tantangan Baru Pembangunan”
Bela negara ditengah perubahan dunia saat ini tidak lagi dilakukan dengan memanggul senjata (hard power), malainkan dengan cara pendekatan soft power yang merupakan perang penguasaan sumber daya energi, pangan dan air melalui penguasaan teknologi dan informasi serta kemampuan berdiplomasi.
Dalam konteks penguasaan teknologi informasi, isu “digitalisasi” menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan, bahkan sangat menonjol dan berperan penting dalam menentukan pembangunan.
Oleh karenanya bangsa ini harus mampu beradaptasi dan bersinergi agar tetap dapat menjaga laju pertumbuhan dan pembangunan. Jika tidak, tak ayal, roda disrupsi akan menggerus dan mengganggu kesinambungan negara dan bahkan terkait urusan bisnis, perusahaan dapat ditinggal pelanggannya.
Kemampuan bela negara ciri khas Indonesia, perlu dikaji secara akademis dan mendalam karena sifatnya tidak lagi semata-mata urusan negara, tetapi juga urusan non-negara (private sector) serta hal yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan individu.
Contoh tantangan baru pembangunan yang harus didukung oleh konsep bela negara dalam arti luas adalah penguasaan dan pengendalian dunia digital. Kemajuan pemanfaatan instrumen digital bersifat dilematis, karena bisa disalahgunakan untuk menghancurkan negara, memperluas konflik, menjadi media propaganda politik hingga mendekonstruksi moral generasi baru bangsa.
Sebaliknya, persaingan dalam penguasaan teknologi dan sinergi digital menjadi penting dalam pembangunan ekonomi
negara dan persaingan bisnis. Ilustrasi yang menarik hari ini, dapat dilihat dari adanya keruntuhan sebuah perusahaan raksasa atau perusahaan yang memiliki bisnis dengan ribuan karyawan karena munculnya perusahaan teknologi (start-up) yang memproduksi smartphone.
Lihat saja, kasus yang pernah menimpa perusahaan kamera terkenal Kodak dengan 140.000 karyawan di seluruh dunia dan memiliki nilai pasar sekitar Rp 350 triliun, kini terkapar di arena persaingan pada beberapa tahun terakhir.
Pada waktu yang sama Facebook, fitur media sosial terbesar di dunia, memutuskan mengakuisisi Instagram dengan nilai Rp 14 triliun. Padahal, saat itu Instagram cuma dikelola oleh 13 orang dan baru berdiri tiga tahun.
Dengan kecepatan eksponensial, perusahaan berbasis teknologi informasi tumbuh pesat ini harus di antisipasi oleh negara – pemerintah melalui kebijakan yang responsif maupun dari pelaku usaha dengan cara upaya bela negara melalui sinergi digital.
“Berpikir Out of the Box”
Berpikir out of the box, seperti yang sudah kita tahu adalah bagaimana bangsa ini bisa berpikir di luar kebiasaan, atau bagaimana menciptakan gagasan di luar kebiasaan-kebiasaan yang ada atau cara berpikir kita yang berbeda dari yang lainnya, diluar rutinitas yang dilakukan, atau berpikir diluar dari yang umumnya selama ini dimaknai dalam definisi bela negara seperti yang diamanatkan dalam konstitusi dan UU Pertahanan Negara.
Penjabaran bela negara secara dinamis harus bersifat kekinian dan bernilai universal. Salah satu ciri bela negara modern untuk mengatasi persoalan bangsa di era disruptif adalah penggunaan teknologi informasi secara positif.
Keberadaan teknologi informasi kini telah menghapus batas-batas geografi, memacu munculnya cara-cara baru, menghasilkan inovasi-inovasi baru yang tidak terlihat, dan tanpa disadari telah mengubah cara hidup kita, memengaruhi tatanan hidup dan bahkan mengganti sistem yang ada.
Dinamika lingkungan global yang ditopang dengan kemajuan teknologi informasi, ke depan, diprediksi akan berjalan kian dahsyat. Tak lagi linier, tapi eksponensial, sehingga saat itu fungsi dan makna bela negara menjadi berbeda dengan apa yang kita pahami selama ini.
Dalam mengkaji fenomena ini, dihadapkan dengan masalah megatren global saat ini, konsep bela negara dapat dikembangkan melalui pendekatan “VUCA” (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) seperti yang dipikirkan Bennet dan Lemoine (2014).
Artinya, aktualisasi bela negara lebih pada upaya bersama mengantisipasi perubahan lanskap bisnis dan keamanan global saat ini yang cenderung memiliki volatilitas tinggi, penuh ketidakpastian, rumit dan multi-dimensional, serta sistem dunia yang ambigu.
Pendekatan VUCA dalam aksi pembelaan negara sifatnya sangat kontekstual, disesuaikan dengan realitas tantangan kebutuhan kepentingan nasional, agar kita berhasil mengubah permainan sambil tetap bertahan dalam permainan.
Bela negara yang berbasis VUCA, tidaklah sekedar sebuah respon terhadap krisis dan upaya pertahanan dalam penegakan kedaulatan, tetapi lebih pada melihat kepastiaan stabilitas kawasan dan dunia, dimana ketidakpastian baik internal dan eksternal selalu berhubungan dan tidak mengenal batas negara.
Ketidakpastian inipun tidak akan pernah hilang , sehingga kita lebih sadar akan hal itu dalam kondisi krisis. Tanpa ketidakpastian tidak akan ada ruang untuk inovasi dan pertumbuhan, apalagi melakukan tanggap perubahan.
Karena itu, di tengah perubahan yang berpola global dan eksponensial, di mana kecepatannya semakin tinggi dan arahnya sulit diduga, bukan hanya berdampak pada persoalan ekonomi, tetapi juga memengaruhi para pengambil keputusan dan kinerja pemerintahan di bidang keamanan dan pertahanan.
Sebagai bagian dari komponen bangsa apakah itu sifatnya utama, cadangan atau pendukung, seharusnya mengerti otoritasnya, eskalasi tantangan, dan spektrum bela negara dihadapkan pada perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi.
Aksi bela negara terkini atau yang aktual adalah upaya melakukan pemanfaatan media sosial secara mandiri (self filtering) dan punya kemampuan mengelola data raksasa (big data) dalam rangka mencegah misinformasi yang bisa memicu konflik.
Selain itu, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai wujud bela negara dibutuhkan penerapan digitalisasi pendidikan untuk menjangkau masyarakat di wilayah-wilayah terpencil dan/atau pulau-pulau terluar yang minim informasi dan masih tertinggal.(*)
Selamat Hari Bela Negara!
19 Desember 2018