Catatan Akhir Tahun: Bencana Alam, Divestasi Freeport dan Pilpres 2019
BRORIVAI CENTER > News > News > Opini > Catatan Akhir Tahun: Bencana Alam, Divestasi Freeport dan Pilpres 2019

Catatan Akhir Tahun: Bencana Alam, Divestasi Freeport dan Pilpres 2019

Abdul Rivai Ras
Founder BRORIVAI Center

Sepanjang tahun 2018, isu stratejik nasional diwarnai berbagai peristiwa baik yang berdimensi sosial, ekonomi maupun politik, yang mana perlu menjadi perhatian dalam mengefektifkan kesinambungan pembangunan.

Kini, negara harus dipastikan bahwa isu menonjol seperti bencana alam, pemanfaatan sumberdaya alam, stabilisasi politik penting untuk menjadi bahan “assessment”, sekaligus untuk menentukan opsi-opsi kebijakan akan datang yang bernilai tinggi bagi perbaikan kesejahteraan, keadilan dan keamanan nasional.

Dalam dimensi sosial, tantangan terbesar yang dihadapi selama 2018 adalah banyaknya bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami yang merenggut nyawa ribuan orang. Tahun ini seperti jadi tahun penuh duka bagi bangsa Indonesia mengingat banyaknya bencana massif mencakup kecelakaan transportasi udara dan laut yang menjadi catatan kelam sekaligus peristiwa yang sangat mematikan.


Pada 5 Agustus, gempa berkekuatan 6,9 menghantam Pulau Lombok. Gempa ini didahului dengan gempa berkekuatan 6,4 pada akhir Juli dan wilayah ini juga terus dilanda sejumlah gempa susulan. Gempa bumi di Lombok telah menelan 468 korban jiwa.

Selanjutnya, gempa bumi berkekuatan 7,7 dan tsunami setinggi 1,5-3 meter di Donggala, Palu yang membawa kehancuran pada akhir September. Bencana ini meratakan seluruh kota dan membuat lebih dari 330 ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Menjelang tutup tahun, kembali lagi terjadi rob-tsunami yang terjadi pada 22 Desember. Jumlah korban tsunami yang menerjang daerah Banten dan Lampung sebanyak 429 meninggal dunia, 1.485 luka-luka, dan 16.082 orang mengungsi (BNPB, 25/12/2018). Akibat tsunami tersebut juga terdapat sebanyak 882 unit rumah rusak, 73 penginapan rusak, 60 warung rusak, dan 434 perahu dan kapal rusak.

Dari sejumlah bencana yang mematikan itu, tentu memang tak bisa terelakkan. Upaya manusia hanya bisa menghindar dengan menjaga kelestarian alam dan mengembangkan teknologi untuk mengantisipasi apabila bencana akan terjadi lagi. Namun, bencana alam ini menjadi ancaman “nyata” yang bisa diantisipasi dengan baik sehingga tak menelan banyak korban jiwa.

Salah satu opsi kebijakan pengendalian bencana dan upaya penting yang dapat diambil adalah mengefektifkan sistem peringatan dini, mengembangkan infrastruktur anti gempa, dan membudayakan langkah-langkah antisipatif, mitigasi, menyiapsiagakan sumber daya, menanggapi kedaruratan kesehatan, memulihkan dan membangun kembali (rekonstruksi).

Namun dalam mewujudkan semua program ini, masalah anggaran menjadi bagian yang tak terpisahkan dan selama ini masih menjadi kendala. Beberapa tahun terakhir, anggaran penanganan bencana mengalami penurunan yang sebelumnya 2017 pernah mencapai Rp 2 triliun, tetapi tahun ini hanya sebesar Rp 700 miliar.

Dengan anggaran yang semakin kecil berakibat pada kemampuan mitigasi bencana yang kian menurun. Sementara, bencana itu adalah sesuatu yang pasti terjadi dan penanganannya harus dijadikan prioritas. Meski bencana alam itu tak bisa diprediksi, namun harus ada persiapan mitigasi, dan dalam persiapan maupun penanganan, dibutuhkan anggaran yang mencukupi.

Dalam dimensi ekonomi, isu divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) menjadi faktor penting dalam mengembalikan kekuatan bangsa ini menjadi negara yang berdaulat dan mandiri.

Di tengah diskusi panjang tentang isu divestasi Freeport, secara realitas kita harus memberikan apresiasi kepada upaya pemerintah Jokowi yang mampu menjalin kesepakatan awal atau Heads of Agreement (HoA) antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport-McMoRan Inc. dan Rio Tinto. Seperti kita ketahui, berdasarkan fakta bahwa negosiasi itu berjalan sangat alot, karena terkait adanya beberapa kepentingan pihak-pihak tertentu.

Ramainya komentar negatif atas kesepakatan awal atau antara PT Inalum, Freeport-McMoRan Inc. dan Rio Tinto yang melakukan negosiasi selama empat tahun terakhir, telah berhasil mencapai kesepakatan terkait peningkatan kepemilikan saham dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen.

Tujuan negosiasi ini sebenarnya mengembalikan kembali, apa yang dikatakan Soekarno bahwa kedaulatan ekonomi harus dimiliki oleh negara ini. Keinginan inilah yang patut kita dukung dengan segala alasannya. Kalau ada pihak-pihak yang kritis terkait hal ini merasakan bahwa Indonesia sebaliknya justru membayar dengan cara berutang, tetapi secara akal sehat, kini Freeport menjadi lebih baik dari sebelumnya, karena pemilik saham mayoritas adalah Indonesia.

Kepemilikan mayoritas entitas Indonesia di PTFI yang telah mengelola tambang emas dan tembaga di Kabupaten Mimika, Papua, sejak 51 tahun yang lalu, telah menjadi kenyataan. Holding industri pertambangan PT Inalum yang kepemilikannya di PTFI menjadi 51.2% itu, menjadi catatan untuk pertama kalinya juga pemerintah daerah Papua akan mendapatkan alokasi saham.

Dari 100% saham PTFI, Pemda Papua akan memiliki 10%, Inalum 41.2% dan Freeport McMoRan, perusahaan tambang Amerika Serikat, sebesar 48.8%. Namun gabungan antara Inalum dan Pemda Papua akan menjadikan entitas Indonesia menjadi pengendali PTFI.

Selain saham, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 37/2018 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral, pemerintah daerah juga akan mendapatkan 6% dari laba bersih PTFI. Nantinya, 6% tersebut akan dibagi menjadi 2.5% untuk Kabupaten Mimika, 2.5% untuk Kabupaten diluar Mimika, dan 1 % untuk Provinsi Papua.

Yang menarik dalam proses pengalihan saham mayoritas kepada PT Inalum tersebut, ternyata PTFI memiliki utang yang harus dibayar, yakni kewajiban denda yang dijatuhkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Freeport harus membayar Rp. 460 miliar karena menggunakan hutan lindung tanpa izin dari pemerintah. Denda itu wajib dilunasi dalam dua tahun ke depan. Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), limbah yang dihasilkan Freeport selama ini ternyata merusak ekosistem atau lingkungan. Nilai kerusakan itu ditaksir Rp185 triliun.

Sedangkan dalam dimensi politik, isu proses pemilihan presiden (Pilpres) 2019 menjadi ajang penilaian bagi masing-masing capres, apakah semua hal yang berkaitan dengan penanganan bencana dan divestasi Freeport menjadi jualan politik yang potensial atau sebaliknya menjadi bagian dari evaluasi di tengah keterbatasan kemampuan atau kekurangan yang ada.

Proses demokrasi di Indonesia, khususnya dalam pertarungan perebutan kekuasaan, masing-masing capres harus menggali isu-isu stratejik yang dapat menjadi unggulan dalam meyakinkan rakyat.

Bencana alam dengan segala dampak sosialnya, serta upaya penanganannya menjadi agenda penting untuk diperdebatkan, karena peristiwa itu sifatnya alamiah, bukan “by design” kecuali bila bersifat “man-made” sehingga dapat menjadi isu politik. Meskipun dari sisi penanganan kebencanaan yang masih carut-marut dan masih lemahnya sistem peringatan dini hingga rekonstruksi dapat menjadi bahan kritik dalam diskusi politik.

Berbeda dengan isu divestasi Freeport, yang dapat dipolitisasi karena menyangkut untung-rugi, benar-salah, dan hitam-putih terkait kebijakan pemerintah dalam mengendalikan dan memanfaatkan sumberdaya alam Indonesia.

Munculnya perdebatan di kalangan politisi bahwa divestasi 51,2 persen adalah hasil utang, dan dianggap tidak layak jika disebut hal itu dibayar lunas, patut mendapat klarifikasi dalam debat capres mendatang.

Sejauh ini, disinyalir 11 bank dinilai menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman kepada perseroan untuk merampungkan transaksi divestasi. Porsi pinjaman rencananya akan dibagi rata sesuai nilai divestasi.

Sungguh disadari bahwa tidaklah mudah untuk melakukan divestasi karena butuh modal yang tidak cuma-cuma dalam mengambil alih saham PTFI menjadi milik negara.

Tercatat, biaya akuisisi saham Freeport ini mencapai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun (pada kurs Rp 14.500) dan merupakan akuisisi terbesar yang pernah dilakukan perusahaan negara selama Indonesia berdiri dan merupakan akusisi terbesar ke-6 di Asia Tenggara dalam 10 tahun terakhir.

Menyongsong Pilpres 2019, berbagai isu penting yang dapat diangkat sebagai bahan debat publik bagi kedua Capres yang akan bertarung. Namun di tengah usaha pemerintah yang masih berkuasa saat ini, tentu akan menyiapkan bahan-bahan debat yang menarik, mulai dari isu pembangunan maritim, infrastruktur konektivitas, pengelolaan sumber daya alam dan penggunaan lahan, serta isu impor beras dan ketahanan pangan.

Selain itu, kehadiran isu tenaga kerja asing, penanganan bencana, divestasi Freeport hingga masalah pertahanan dan keamanan terkait kelompok kriminal bersenjata (KKB), dan menguatnya Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) juga patut diperdebatkan eksistensinya, mengapa mereka masih tetap aktif hingga saat ini.(*)

Author: brorivai

Leave a Reply