Jakarta – Dunia kembali mengabaikan salah satu bencana kemanusiaan besar terhadap etnis Uighur yang berlangsung di wilayah barat Cina tepatnya di provinsi Xinjiang.
Kekerasan demi kekerasan terjadi karena adanya penindasan yang ditujukan kepada mereka kaum muslimin yang beretnis Turki, yang jumlahnya cukup besar atau mencapai sekitar 11 juta orang dari total 26 juta penduduk.
Tindak kekerasan di negeri itu tergambar oleh adanya upaya paksa kepada mereka untuk dimasukkan ke dalam kamp-kamp pengasingan massal, dilarang mempraktikkan agama, dan kemudian menjadi target indoktrinasi. Mencermati perkembangan kekerasan yang mengerikan melanda kelompok minoritas muslim Uighur, Brorivai Center melalui founder-nya, Abdul Rivai Ras menyerukan agar penindasan di negeri itu harus segera dihentikan!.
“Penindasan dan kekerasan harus dihentikan dimanapun itu,” serunya. Ia juga menambahkan semua pihak termasuk Indonesia harus menentang penindasan terhadap kelompok muslim Uighur itu, karena melanggar hak asasi manusia yang dihormati setiap bangsa.
“HAM harus kita perjuangkan, apapun etnisnya, agamanya dan golongannya serta dari belahan dunia manapun kekerasan itu terjadi, mereka harus mendapatkan perlindungan dan penghormatan kemanusiaan,” tegasnya.
Seperti diketahui, Uighur adalah etnis minoritas di China yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah, ketimbang mayoritas bangsa Han.
Kendati wilayah tempat mereka bermukim ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Bahkan baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum karena dinilai sebagai gejala radikalisme.
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam.
Pada awal abad ke-20 etnis bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan mereka dengan nama Turkestan Timur. Namun pada tahun 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing.