Strategic Communication dan Penanganan Radikalisme
BRORIVAI CENTER > News > News > Opini > Strategic Communication dan Penanganan Radikalisme

Strategic Communication dan Penanganan Radikalisme

Kelompok radikalisme dan teroris yang ganas menggunakan teknologi komunikasi untuk menggalang dana, mengintimidasi, melatih, meradikalisasi, merekrut dan menghasut orang lain untuk melakukan tindakan ekstremis dan teroris yang kejam nampak semakin menggeliat.

Pemerintah mutlak mengambil langkah-langkah yang tepat dalam mencegah dan melawan penggunaan internet dan media sosial untuk tujuan ekstremis dan teroris, sambil menghormati privasi dan kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul secara damai, dan agama atau kepercayaan, serta kebutuhan  untuk menjaga konektivitas global dan arus informasi yang bebas dan aman. Untuk itu, menurut pandangan penulis – kini saatnya pemerintah juga dapat mengembangkan konsep “Strategic Communications Initiative” dalam menghadapi berbagai aksi kekerasan politik di Tanah Air.

Pemerintah (BNPT, BSSN, BIN, Polri dan TNI) dan lembaga non pemerintah lainnya termasuk akademisi, media dan tokoh agama seharusnya dapat mengembangkan kerjasama dalam merancang pola kerja yang efektif untuk pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Termasuk dalam mengatasi praktik-praktik kekerasan politik (fisik dan verbal) baik secara menyeluruh dalam mencegah dan melawan radikalisme dunia maya maupun dalam praktik khusus untuk membangun strategi tentang respons keamanan berbasis konten dan komunikasi.

Konsep strategic communication yang ditawarkan ini banyak dikenal dan digunakan oleh lembaga-lembaga kompetitif dalam perdagangan dan ekonomi untuk membangun reputasi dan menjangkau pelanggan dengan menganalisis khalayak sasaran. Saat ini konsep tersebut berkembang dan meluas penerapannya ke dalam berbagai pembahasan isu-isu keamanan nasional/internasional, politik dan strategi guna mengatasi aksi radikalisme dan perang melawan terorisme.

Penggunaan istilah “strategic communication” sebagai pengganti definisi dan konsep lain yang berbeda selama ini, telah mengaburkan sifat dan ruang lingkup istilah tersebut sehingga diperlukan pemahaman mendalam tentang konsep baru ini ke dalam dunia keamanan. Pada umumnya, konsep komunikasi strategis menjadi pilihan responsif di era disruptif dan menjadi perangkat kekuatan lunak (soft power), diplomasi publik, propaganda, perang informasi dan operasi psikologis yang digunakan oleh banyak negara dalam menyikapi isu-isu keamanan global.

Dalam konteks penanganan radikalisme dan melawan terorisme yang dinilai sebagai suatu tindakan kekerasan politik telah banyak menuai pertanyaan, antara lain bagaimana konsep komunikasi strategis dapat diterapkan dalam menjembatani semua pihak di tengah derasnya perang informasi dan keamanan cyber. Lebih lanjut, apakah konsep strategic communication  lebih efektif dibandingkan penggunaan komponen kemampuan kinetik konvensional (seperti kekuatan militer atau polisi) dalam rangkaian upaya deradikalisasi dan pemberantasan terorisme. Jawabannya, communication is the center of everything. You can’t execute strategy if you can’t communicate about it.

Strategic Communication dan Keamanan

Sejak konsepsi strategic communication berkembang menjadi bagian integral dari urusan keamanan nasional di beberapa negara (AS, di Eropa dan Asia), telah memberi dampak terhadap kepercayaan bagi pelaku pasar dan sekaligus menjadi instrumen penting dalam mendukung stabilitas, kepastian hukum, dan rasa aman di sejumlah negara.

Dalam beberapa tahun terakhir, dengan merebaknya dunia internet, kemudahan berbagi di media sosial dan membanjirnya informasi yang bersifat lintas negara di tengah masyarakat, seketika dapat merubah perilaku setiap individu dan sekaligus sekejap bisa mewujud menjadi tindakan reaktif dalam interaksi sosial dan lingkungan. Realitas ini tentu kemudian memaksa munculnya desakan untuk bersikap kritis bahkan semakin ekstrim yang pada akhirnya memicu aksi kekerasan verbal.

Karena itu, komunikasi strategis kini telah bergeser maknanya dari posisi sebelumnya sebagai alat yang hanya sekedar sebagai fungsi “penerangan” atau public relations yang bersifat umum, menjadi fungsi spesifik yang sangat penting dalam mengelola ancaman keamanan nasional yang banyak diwarnai dimensi kekerasan secara politik.  Demikian halnya, semakin menjadi penting dan jelas bagi suatu negara untuk mengkomunikasikan nilai-nilai dan tujuan nasionalnya melalui inisiatif komunikasi strategis. Pembentukan inisiatif tersebut setidaknya dapat digunakan sebagai instrumen counter-balance dalam mengatasi adanya perluasan opini yang destruktif, penyesatan informasi, mendorong kepanikan publik dan merubah mindset yang mengarahkan pada aksi yang brutal dan bar-bar.

Secara sederhana, strategic communication dapat didefinisikan sebagai komunikasi yang selaras dengan strategi keseluruhan suatu negara untuk meningkatkan posisi strategisnya. Artinya ketika melakukan komunikasi secara strategis dengan audiens, publik dan komunitas terbuka, maka diseminasi pesan harus secara konsisten dapat berlangsung. Mengkomunikasikan apa yang ingin dibagikan (info-sharing) secara internal dan eksternal dengan cara membentuk percakapan, membangun narasi strategis, tegas dan memberi penjelasan berjenjang oleh otoritas terkait, kemudian menerima hasil atau feedback sesuai kepentingan yang diharapkan (national interest).

Secara khusus dalam praktiknya strategic communication sesungguhnya merupakan alat yang sangat berharga untuk menopang pertumbuhan dan kesinambungan ekonomi pada suatu negara. Komunikasi strategis yang efektif dinilai akan dapat membantu mengatasi stabilitas dan keamanan di tengah masyarakat yang banyak dirundung konflik dan bencana karena menjadi bagian dari upaya manajemen krisis.

Penegasan informasi dan pengulangan berita atau pesan yang konsisten sangat penting dalam penerapan komunikasi strategis. Pesan yang dimaksudkan disini adalah keterangan yang disampaikan oleh pemerintah mengadung nilai dan effect yang “menenangkan publik” agar tidak panik dan mengendalikan opini yang menyulut eskalasi kekerasan. Dan sedapat mungkin diikuti oleh media melalui pendekatan jurnalisme damai (peace journalism). Kehadiran negara dipastikan mampu memberikan kejelasan informasi keamanan yang tegas kepada publik dan mengisyaratkan pesan yang mengandung pemulihan, pengendalian dan resolusi. Lazimnya, negara sering menghadapi kesulitan dalam menyampaikan pesan publik tentang situasi negara yang dalam keadaan bahaya, karena dapat menimbulkan kerugian baru, sehingga diperlukan suatu otoritas yang kuat dan mampu menerapkan inisiatif strategic communication.

Sebagai ilustrasi, di masa Orde Baru, Indonesia pernah memiliki Departemen Penerangan yang mampu bekerja hingga di pelosok desa. Menyuarakan dan menyampaikan informasi kemajuan pembangunan maupun berita-berita yang bernilai strategis. Otoritas tertinggi ketika itu adalah Menteri Penerangan yang bertindak sebagai representasi negara dan pemerintah dalam memberi penjelasan ke ruang publik tentang seluruh peristiwa aspek kehidupan bangsa.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, siaran pers, situs media sosial dan semua pesan dapat beredar luas, namun tidak berarti kendali informasi dalam manajemen krisis diabaikan. Di era disruptif, kesatuan informasi dan fungsi penerangan sangat dibutuhkan sebagai bentuk dari strategic communication untuk mencegah biasnya berita yang menyesatkan tentang situasi keamanan nasional dan mengisi kekosongan informasi publik melalui siaran pers resmi dari negara di tengah lingkungan yang berubah.

Esensi dari komunikasi strategis adalah bagaimana membuat pesan yang tepat dan berbeda untuk masyarakat atau audiens yang berbeda serta menjadi kunci keberhasilan stabilitas keamanan. Masyarakat yang terpapar oleh media dan memiliki pemahaman terbatas tentunya tidak dapat dikendalikan tanpa adanya komunikasi yang berimbang. Untuk itu, pesan harus disalurkan ke platform yang benar. Misalnya, ketika menargetkan audiens yang lebih luas, penerangan melalui media sosial dapat digunakan untuk mengirimkan pesan yang cepat. Sedangkan pesan atau penerangan secara tradisional lainnya dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan kelompok lain dengan cara berjenjang dan terintegrasi sesuai hirarki fungsi pemerintahan.

Elemen dari keseluruhan strategi yang ingin disampaikan oleh pemerintah atas nama negara kepada masing-masing konstituen atau rakyat secara menyeluruh menjadi efektif. Karena fungsi komunikasi dapat memecah strategi menjadi beberapa bagian dan mengartikulasikannya bagian yang tepat kepada audiens dalam bentuk pesan yang konstruktif.

Pesan Propaganda Radikalisme

Penelitian empiris menunjukkan bahwa terobosan penanganan radikalisme yang didasarkan pada bahan sumber primer dan kerja lapangan di dalam negeri, serta hasil pengujian terhadap asumsi dan evaluasi pengalaman masa lalu dalam mengembangkan prinsip-prinsip dan pedoman mengatasi radikalisme belum sepenuhnya berhasil. Lihat saja dalam beberapa tahun terakhir berbagai pesan propaganda dari para ekstremis brutal, aksi kekerasan jaringan Al-Qaeda maupun ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dalam berbagai kasus di Indonesia.

Pesan propaganda kelompok ekstrimis, khususnya kelompok radikal yang bermotif politik sebaiknya difokuskan pada penanganan jangka panjang. Meskipun penanganan jangka pendek juga penting, namun dalam melihat dari aksi kelompok radikal ini sungguh tidak membatasi ruang dan waktu. Pemerintah dan otoritas keamanan negara harus memiliki kepekaan, nilai-nilai yang kuat dan proaktif dalam menyikapi fenomena tersebut dari pada hanya sekedar reaktif dalam membangun komunikasi dengan publik. Diperlukan komunikasi strategis yang selalu berpikir tentang masa depan dari pada masa kini, sehingga dapat direncanakan dalam jangka panjang dan diintegrasikan ke dalam suatu strategi yang komprehensif.

Mengembangkan konsep strategic communication tentunya sangat kontekstual, tergantung jenis krisis dan bahaya keamanan yang dihadapi oleh negara. Untuk mencegah meluasnya berita yang tidak benar (hoax), dan pesan propaganda yang ingin mengacaukan sistem kehidupan nasional, maka elemen-elemen komunikasi strategis dan konten pesan harus dijelaskan secara tegas ke publik, sekaligus penerangan tentang bahaya radikalisme secara berulang harus dikomunikasikan.

Sebagai gambaran dalam menghadapi isu radikalisme, informasi tentang sebab meluasnya paham dan dinamika kegiatannya perlu diuraikan secara rinci agar publik semakin paham, dan setidaknya menjadi isu sentral yang dapat diwaspadai mengingat sifatnya yang sensitif. Sebagaimana yang dipahami oleh publik, bahwa radikalisme seringkali dikaitkan dengan agama tertentu, khususnya Islam. Hal ini dapat dilihat dari adanya kelompok ISIS  yang melakukan teror terhadap beberapa negara di dunia dengan membawa/menyebutkan simbol-simbol agama Islam dalam setiap aksi terornya. Tindakan ISIS dan dukungan dari sebagian kecil umat Islam terhadap ISIS pada akhirnya membuat sebagian masyarakat dunia menganggap ISIS merupakan gambaran dari ajaran Islam. Namun, tentu saja hal tersebut tidak benar adanya karena sebagian besar umat Islam justru mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh ISIS.

Radikalisme seharusnya sangat mudah dikenali. Karena pada umumnya penganut ideologi ini ingin dikenal/terkenal dan ingin mendapat dukungan lebih banyak orang. Itulah sebabnya radikalisme selalu menggunakan cara-cara yang ekstrim, sehingga membutuhkan inisiatif komunikasi strategis yang utuh. Aktualisasi komunikasi strategis seharusnya mampu menjelaskan karakter radikalisme dan komunikasi persuasif yang harus diambil untuk mengatasinya. Beberapa karakter yang dapat dikomunikasikan antara lain: bagaimana menjelaskan bahwa radikalisme adalah sebuah tanggapan pada kondisi yang sedang terjadi. Tanggapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan dengan keras. Selain itu, ada kecenderungan melakukan upaya penolakan secara terus-menerus dan menuntut perubahan drastis yang diinginkan terjadi.

Orang-orang yang menganut paham radikalisme biasanya memiliki keyakinan yang kuat terhadap program yang ingin dijalankan. Penganut radikalisme tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan dalam mewujudkan keinginannya, dan para penganutnya memiliki anggapan bahwa semua pihak yang berbeda pandangan dengannya adalah bersalah. Disinilah fungsi strategic communication harus dikembangkan oleh negara untuk menjelaskan kebenaran, karena kekerasan politik yang lahir dari bibit radikalisme tidak terlepas dari adanya pemikiran sebagian masyarakat bahwa seorang pemimpin negara hanya berpihak pada pihak tertentu, mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang terlihat ingin menegakkan keadilan.

Sementara, kelompok-kelompok tersebut bisa dari kelompok sosial, agama, maupun politik. Alih-alih menegakkan keadilan, kelompok-kelompok ini seringkali justru memperparah keadaan dan situasi keamanan karena tidak adanya otoritas yang tunggal dan decisive dalam memberikan kejelasan dan penerangan secara tegas ke ruang publik. (*)

 

Author: BRC