Penulis: Dr. Abdul Rivai Ras (Founder BRORIVAI Center dan Pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia)
Perbincangan tentang hak angket menjadi isu yang mengemuka dan menyita perhatian publik di Sulawesi Selatan (Sulsel), menyusul DPRD setempat meloloskan penggunaan hak angket kepada Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah (24/06).
Hak angket ini pertama terjadi di Indonesia terhadap seorang Gubernur, yang dilakukan dan didukung oleh 60 anggota DPRD. Tindakan ini dianggap sah karena merujuk pada syarat pengajuan usul hak angket, dimana hak ini dapat berlanjut karena rapat paripurna telah dihadiri 3/4 anggota DPRD Sulsel berjumlah 85 orang dan disetujui oleh minimal 2/3 anggota DPRD yang sempat hadir.
Dalam sejumlah diskusi di warung kopi, muncul pertanyaan-pertanyaan awam di masyarakat, apakah dengan hak angket itu dapat melahirkan sebuah pemakzulan atau hanya sekedar bentuk unjuk gigi anggota dewan menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai anggota DPR?
Terlepas dari pertanyaan atau pernyataan itu, yang pasti DPRD Sulsel sudah memperlihatkan fungsinya dan mencoba memainkan perannya secara kritis – konstruktif sebagai lembaga yang seharusnya memiliki sensifitas dalam merespons tuntutan demokrasi kekinian.
Sekalipun langkah ini dinilai sebagai aksi sensasional, namun sikap DPRD Provinsi ini sesungguhnya telah mencatatkan diri dalam sejarah pembentukannya yang notabene belum pernah dilakukan di DPRD manapun di Indonesia, sekaligus menjadi praktek hak angket yang unik, karena lazimnya hak ini banyak diterapkan di tingkat pemerintahan pusat (DPR-RI vs. Persiden/KPK).
Apakah Ada Yang Salah Dengan Hak Angket itu?
Dalam lingkungan masyarakat lokal yang jauh dari pendidikan politik dan demokrasi, terlebih bagi kelompok pinggiran yang kurang terpelajar, sungguh cukup banyak yang belum paham tentang “hak angket” itu. Bahkan ada yang bertanya tentang hak angket itu sebenarnya binatang apa?. Lalu berlanjut dengan diskusi yang lain, apakah langkah wakil rakyat itu (DPRD Sulsel) sudah dianggap tepat dan benar atau benar dan tidak tepat?
Untuk bisa menjawab dan mencerahkan, seyogyanya latarbelakang tentang lahirnya hak angket itu lebih awal dapat dipahami secara konseptual dan dapat dikaji lebih jauh, apakah yang seharusnya “diangketkan” itu mempunyai nilai kepantasan atau dapat dikatakan layak angket?.
Karena itu dalam mengelaborasi isu strategis ini, perlu sedikit perluasan wawasan tentang asalmu-asalnya hak angket itu, bagaimana melakukannya dikaitkan dengan hak-hak DPR yang seharusnya diemban dalam mengawasi dan memperkuat sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik serta menopang demokratisasi di Indonesia.
Pada dasarnya DPR mempunyai hak dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal dan substantif, khususnya dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Paling tidak, DPR dibekali 3 (tiga) hak yang melekat dalam fungsi tersebut, yakni: pertama, Hak Interpelasi, dimana hak ini dilakukan untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakannya yang dinilai penting dan strategis serta mempunyai dampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kedua, Hak Angket dimana hak ini untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, Hak Menyatakan Pendapat, dimana hak ini untuk menyatakan pendapat atas berbagai kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tingkat lokal, provinsional, nasional atau di dunia internasional.
Hak menyatakan pendapat ini juga akan menjadi tindak lanjut dari pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket yang telah dilakukan, dan patut mendapatkan perhatian, teguran, dan bahkan upaya pemakzulan dalam rangka mendelegitimasi terhadap suatu pemerintahan yang sedang berkuasa.
Dasar menyatakan pendapat ini tentunya merujuk pada dugaan bahwa pemerintah baik Pemerintah Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur), Pemerintah Pusat (Presiden/Wakil Presiden) melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau pemerintah yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat Gubernur/Wakil Gubernur atau Presiden/Wakil Presiden.
Dari ketiga hak DPR tersebut, tentu mempunyai kadar berbeda-beda yang mampu merubah atau memperbaiki efektifitas pemerintahan. Untuk menjawab polemik tentang “hak angket” itu, sebenarnya sangat tergantung pada kacamata politik hukum yang digunakan dalam melihat realitas kasus atau peristiwa tentang adanya praktek penyalahgunaan kekuasaan, terpenuhinya unsur-unsur yang mendukung perlunya hak ini diambil oleh DPR, dengan pertimbangan kebijakan yang lahir itu dapat merusak tatanan pemerintahan atau menjelma menjadi ancaman bagi keberlangsungan pembangunan.
Ditinjau dari tahapan dan alur sejumlah hak yang melekat pada lembaga rakyat ini, DPRD Sulsel sesungguhnya dapat memilih opsi awal dengan pendekatan “hak interpelasi” untuk mendapatkan bahan keterangan atau informasi awal sebagai langkah persuasif untuk mengatasi tensi politik. Mengidentifikasi apakah sejumlah kebijakan itu mendasar, argumentatif, atau sebaliknya dipastikan terdapat kekeliruan dengan catatan. Lebih lanjut memperdalam apakah kebijakan dan langkah pemerintah itu merugikan secara sistematik dan berdampak pada efektifitas pemerintahan, kepentingan publik dan atau sudah nyata-nyata dan kasatmata melawan hukum?
Bila terdapat sejumlah temuan, dan ternyata terdapat kesalahan fatal serta bukti konkrit yang kemudian tidak dapat ditolerir, maka langkah “hak angket” menjadi opsi selanjutnya yang dapat diambil sebagai aksi konfirmasi. Pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah, apakah DPR dapat memilih opsi kedua “hak angket” sebagai pilihan langsung tanpa harus melalui mekanisme hak interpelasi lebih dulu?.
Jawabnya, semua opsi dapat dipilih sesuai kesepakatan dewan terhadap urgensi dari hak angket itu. Secara empirik, hak angket bisa saja terjadi secara langsung bila dipastikan bahwa keterangan dan fakta-fakta yang dihimpun cukup memadai tanpa harus meminta keterangan lagi secara formal dan mendengar pandangan serimonial pihak pemerintah sehingga selanjutnya layak untuk dilakukan pendalaman melalui pengangketan.
Pengalaman dalam kasus praktek hak angket pada tingkat nasional dapat dilihat ketika penerapan hak angket DPR yang pernah terjadi terhadap KPK tanpa diawali dengan mekanisme hak interpelasi. Sekalipun kasus KPK dapat menjadi contoh, tetapi aktualisasinya berbeda dalam konteks trias politica karena tergolong sebagai lembaga yang terpisah dari eksekutif.
Selain itu, kasus pelaksanaan hak angket KPK juga dipandang sebagai tindakan yang melanggar batasan penggunaan hak angket atau limitation of power constitutional boundary, karena secara kelembagaan, KPK bukanlah pelaksana kekuasan pemerintahan (executive power), sehingga hanya dapat dilihat sebagai varian penting untuk mendapatkan pembelajaran dan pembanding bagaimana penggunaan hak angket itu diterapkan secara tepat dan benar.
Dalam konteks studi kasus penggunaan hak angket DPRD Sulsel terhadap seorang Gubernur, sebenarnya dapat dilihat dari keterhubungan fungsi pengawasan dari pihak legislatif vs. kebijakan eksekutif. Tidak ada aksi dalam pemberlakuan hak angket yang dinilai dapat melanggar batasan normatif. Hanya saja kelaziman hak angket yang selama ini banyak dipahami lebih banyak terjadi di tingkat pemerintahan pusat antara DPR-RI vs. Presiden/Wakil Presiden. Langkah ini sangat jarang terjadi dan bahkan tidak pernah dipraktekan pada tingkatan lokal maupun provinsional, sehingga menjadi preseden dalam politik lokal di negeri ini.
Anomali Kebijakan dan Munculnya Hak Angket
Seperti diketahui, setidaknya terdapat tiga isu besar yang dinilai sebagai dasar munculnya hak angket DPRD, yakni kontroversi Surat Keputusan (SK) Wakil Gubernur tentang pelantikan 193 pejabat, masalah manajemen PNS dan dugaan KKN, dan pelaksanaan APBD Sulsel tahun 2019.
Isu-isu ini sebenarnya sangat sarat dengan isu politis yang bila ditelusuri lebih lanjut peristiwa ini terjadi karena lemahnya koordinasi dan konsolidasi intra-eksekutif pimpinan pemerintah provinsi dan adanya kebuntuan komunikasi politik antara eksekutif dan legislatif. Disinilah letak lahirnya sejumlah polemik dan menguatnya berbagai masalah yang seharusnya dapat diredam dan diatasi secara bersama-sama. Sebaliknya kini menjadi masalah serius dan bola liar yang sulit dikendalikan .
Ketiga isu yang kini menjadi perhatian itu lebih pada adanya anomali kebijakan yang nyata-nyata dilakukan oleh pemerintah setempat tanpa adanya kepemimpinan yang berbasis pada demokrasi – partisipatif. Disinyalir masih terdapat sejumlah anomali kebijakan lainnya yang kini belum muncul di permukaan.
Masalah aktual yang pernah terjadi seperti kontroversi penerbitan SK Wakil Gubernur dalam pelantikan 193 pejabat di lingkup Pemprov Sulsel dan berbuntut panjang dengan diperiksanya Wakil Gubernur Sulsel oleh Komisi Aparatur Sipil Negara, Dirjen Otonomi Daerah dan Kemenpan Reformasi Birokrasi, yang merekomendasikan agar keputusan tersebut dibatalkan menjadi fakta anomali kebijakan. Hal inilah kemudian menimbulkan reaksi DPRD untuk mempertanyakan dasar penerbitan keputusan dan pelaksanaan pelantikan oleh Wakil Gubernur ketika itu..
Selain itu terdapat fakta lain, bahwa DPRD juga menemukan banyak mutasi PNS dari kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bone ke Pemerintah Provinsi, yang diduga daerah yang dimaksud sempat dipimpin oleh Nurdin Abdullah selama dua periode.
DPRD juga menduga KKN terjadi pada penempatan pejabat tertentu dari eselon IV hingga tingkat Eselon II, termasuk menjadi sorotan karena adanya pencopotan pejabat tertentu tanpa mekanisme atau prosedur sebagaimana yang diatur alam Peraturan Perundang-undangan.
Hal lain yang tergolong menonjol adalah pemerintahan Nurdin Abdullah masih dianggap belum bekerja secara terstruktur yang sesuai tata kerja birokrasi dan perencanaan yang baik. Misalnya saja, hingga bulan Mei atau bulan kedua Triwulan II tahun 2019, serapan anggaran masih sangat rendah.
Keterlambatan realisasi anggaaan pendapatan dan Belanja Daerah tajun 2019, berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang melambat di kisaran 6 persen dan dapat berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, lapangan kerja yang tidak terbuka, pendapatan dan daya beli menurun serta kemiskinan yang tidak tertangani dengan baik kini terjadi di Sulsel.
Rapat Paripurna DPRD Sulsel, Pengesahan Hak Angket kepada Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah – Foto Ist. BRC
Pilihan Hak Angket dan Prinsip Check and Balances
Filosofi dasar dari hak angket DPR adalah sebagai instrumen checks and balances dalam sistem demokrasi presidensial. Hal tersebut mengandung arti bahwa hak angket hanya ditujukan bagi lembaga eksekutif di bawah presiden. Dalam banyak definisi hak angket dimaknai juga sebagai hak untuk melakukan penyelidikan oleh lembaga legislatif terhadap kebijakan yang diterapkan atau dijalankan oleh pemerintah (eksekutif).
Teori yang disepakati bersama untuk memperkokoh argumentasi tersebut adalah dalam menerapkan sistem pemerintahan presidensial, dimana check and balances antar cabang kekuasaan negara adalah suatu keniscayaan. Pasca runtuhnya rezim otoriter orde baru 1998 dan dilakukannya amandemen Undang-undang Dasar 1945 pada rentang waktu 1999 hingga 2002 telah menghasilkan suatu perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Bila merujuk pada ajaran Montesque yang membagi kekuasaan negara pada tiga cabang kekuasaan penting yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif mewajibkan adanya mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan tersebut tentunya ditujukan untuk menghindari tirani pemerintahan. Karena itu prinsip utama yang diusung dalam check and balances ini adalah menghendaki adanya pemisahan kekuasaan agar tidak terjadi kebuntuan hubungan antar cabang kekuasaan negara dan sekaligus guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan di dalam suatu cabang kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan lembaga dan eksekutif di Indonesia, prinsip check and balances terdapat dalam berbagai bidang diantaranya adalah terkait dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di Parlemen. Berdasarkan Pasal 20A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Penggunaan ketiga hak tersebut, terutama hak angket dan hak interpelasi telah menjadi mekanisme dalam membangun kendali dan keseimbangan pemerintahan.
Harus dicatat bahwa penguatan sistem pemerintahan (presidensial) yang kini kita anut pada dasarnya bermaksud mendorong mekanisme demokrasi dengan cara memberikan kewenangan lebih kepada setiap cabang kekuasaan negara, meskipun pada kenyataannya bukanlah the last resolution.
Pada prakteknya, penggunaan kewenangan dan hak antar lembaga kekuasaan ini tidak jarang menjadi polemik dan perdebatan. Hal ini terlihat pada kewenangan yang lebih luas juga terjadi pada ranah pengawasan. Pengawasan yang dilakukan DPR terhadap pemerintah dan lembaga lain demikian luas juga banyak berujung pada kegaduhan politik.
Meskipun hakekat pengawasan adalah pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan pengejawantahan anggaran, namun dalam implementasinya, cakupan fungsi ini melebar sampai pada menetapkan soal-soal pengawasan kebijakan umum dan khusus, juga pengawasan tentang perang dan damai dengan negara lain termasuk dalam ikut menyetujui amnesti umum menjadi hal yang tidak terpisahkan.
Hak Angket dan Angin Perubahan
Sekalipun disadari hak angket itu memang maksudnya adalah untuk check and balances antara cabang kekuasaan DPR dan cabang kekuasaan presiden dan atau pemegang otoritas tertinggi di daerah (gubernur), tetapi akhirnya ujung dari penggunaan hak angket itu sesungguhnya adalah the right to impeachment, meskipun langkah ini kemungkinannya kecil dan sulit terjadi dalam sejarah pemerintahan sekelas Indonesia.
Kalaupun seandainya hak angket secara serius ingin ditindaklanjuti, maka kemudian akan berakhir pada hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat kemudian lazimnya berujung pada impeachment. Apakah ini mungkin terjadi?
Secara historis, keberadaan hak angket bermula dari hak untuk menginvestigasi (right to investigate) dan memeriksa penyalahgunaan kewenangan, dan menghukum penyelewengan-penyelewengan dalam administrasi pemerintahan, yang kemudian disebut right to impeachment. Dari pengalaman sejarah dunia, keberadaan hak angket dalam sistem parlementer dipergunakan untuk memakzulkan pejabat negara karena melakukan pelanggaran jabatan.
Sedangkan dalam konteks sistem presidensial di Indonesia, keberadaan hak angket hanya diperuntukkan bagi pemerintah dalam kerangka sistem check and balances itu sendiri yang juga dapat berujung kepada pemakzulan khusus terhadap kepala pemerintahan (presiden maupun gubernur atau lembaga lainnya).
Yang pasti, harapan besar penerapan dari praktek hak angket di Sulsel sedapat mungkin dapat memberi “angin perubahan” dan perbaikan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik, mendorong peningkatan kualitas proses politik dan demokrasi substantif, serta senantiasa dapat membentuk karakter kepemimpinan yang visioner, transformatif dan amanah. (*)