Berguru Demokrasi dan Pertahanan dari Jerman
BRORIVAI CENTER > News > News > Opini > Berguru Demokrasi dan Pertahanan dari Jerman

Berguru Demokrasi dan Pertahanan dari Jerman

Pada suatu saat saya belajar tentang kepemimpinan, demokrasi dan pertahanan di Jerman, tepatnya di Pusat Pengembangan Kepemimpinan dan Pendidikan Kewarganegaraan (Zentrum Innere Führung).

Seketika muncul pertanyaan di dalam benak saya, bagaimana Jerman mampu merawat demokrasi pasca Perang Dingin dan apa yang patut dicontoh bagi Indonesia?

Secara realitas, Jerman telah menjadi salah satu model sukses dalam pembangunan politik dan modernisasi bagi dunia. Sehingga menjadi penting untuk dapat belajar dan mengambil manfaat bagi kepentingan nasional.

Proses perkembangan prinsip dan nilai-nilai demokrasi di Jerman pada dasarnya dimulai dari Jerman Barat. Setelah kejayaan masa Kekaisaran Jerman hingga keruntuhan otoritarianisme pada masa kekuasaan Reich Ketiga atau Rezim Jerman Nazi pasca-Perang Dunia II, yang kemudian mendorong terpecahnya Jerman menjadi dua negara, Jerman Barat dan Jerman Timur.

Kini, proses demokratisasi di Jerman menjadi salah satu langkah penting bagi pertumbuhan dan pembentukan kembali identitas politik bagi negara itu sebagai sebuah bangsa yang demokratis.

Meskipun Jerman pernah mengalami sebuah tantangan dalam menghadapi pengaruh komunisme yang menguasai Jerman Timur selama Perang Dingin, namun dalam usianya yang ke 28 sejak reunifikasi, dapat menjadi pelajaran dan model sukses bagi demokrasi.

Beragam perubahan juga terjadi secara global, yang mengubah posisi “geostrategi” Jerman. Revolusi damai di Jerman Timur, yang memicu Jerman bersatu, saat ini menjadi contoh cemerlang mengenai sebuah negara demokrasi yang berkembang sangat pesat yang pernah dilanda konflik dan perang.

Dalam hubungan international, Jerman banyak memainkan peran penting. Politik luar negeri yang dimainkan nampak semakin cerdas karena mampu menggalang negara-negara berkembang dan mengedepankan haluan mediasi di Asia dalam mendorong kehidupan demokrasi.

Misalnya, dalam mengembangkan hubungan bilateral di kawasan Asia, khususnya dengan Indonesia, Berlin menyambut positif selama era baru kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang terhitung humanis dan konstruktif yang saat ini memasuki tahun kelima.

Berbagai kiprah Jerman di luar negeri mendemonstrasikan upaya negara ini untuk memberikan kontribusi positif bagi demokratisasi, keamanan, dan perdamaian di seluruh dunia.

Dewasa ini, Jerman juga telah menunjukkan komitmennya yang direfleksikan dalam reformasi PBB. Sebuah upaya luar biasa bagi Jerman tentunya, karena terhitung hampir tiga dekade terakhir samasekali tidak terbayangkan bila kelak Jerman menjadi negara yang memiliki “kekuatan” dan “kebebasan” yang patut dicontoh.

Pembangunan Politik

Di dalam negeri, Jerman juga mengalami perubahan substansial. Seperti diketahui, sistem politik cukup terfragmentasi, seperti peran partai demokrat liberal, yang selama beberapa dekade ibaratnya menjadi penentu, upaya perebutan koalisi dalam membentuk pemerintahan, persaingan partai-partai baru, seperti Partai Hijau yang cukup kuat, atau partai kiri “Die Linke” serta partai alternatif anti Uni Eropa, menjadi tantangan tersendiri.

Perubahan sosial juga berlangsung secara konstan dan dalam spektrum luas. Setelah reunifikasi, Jerman menjadi negara tujuan imigran terpenting kedua setelah Amerika Serikat.

Tumbuhnya populasi imigran di Jerman, menjadi subtitusi dari merosotnya tingkat kelahiran alamiah di negara ini, sekaligus mengubah wajah Jerman. Konsekuensinya, Jerman menjadi sebuah negara multi budaya, walau kelompok konservatif menentang hal tersebut.

Dari 82 juta populasi total di Jerman, sekitar 15 juta diantaranya memiliki latar belakang migran. Banyak yang beragama Islam. Beberapa tahun sebelumnya, presiden Jerman ketika itu, Christian Wulff, mengakui perkembangan ini, yang secara resmi menyatakan bahwa “Islam juga termasuk bagian dari kemasyarakatan Jerman”.

Terlepas dari berbagai perubahan positif, masalah tentu saja tetap ada. Jerman masih tetap menghadapi isu ekstrimisme Islam, terkait isu Islamic State di Irak dan Suriah. Dinas rahasia dalam negeri menaksir, lebih 500 jihadis dari Jerman telah bergabung dengan ISIS. Jika mereka pulang, potensi ancaman tidak bisa diabaikan. Karena itu, masih banyak yang harus dilakukan, untuk mencegah radikalisasi di Jerman sendiri.

Sebagai penstudi stratejik, diakui bahwa model negara sosial yang diterapkan Jerman, telah sukses hampir di semua lini. Juga dalam olahraga, khusunya sepak bola. Negara ini melangkah ke arah yang tepat, dan boleh bangga atas semua prestasi yang diraih, walau beragam tantangan masih harus dihadapi.

Dr. Abdul Rivai Ras (Pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Founder BRORIVAI Center)

Salah satu upaya bernegara yang dikembangkan olah Jerman dalam mendorong demokrasi adalah melembagakan superioritas konsep “Innere Führung”. Konsep ini dibangun dari pemikiran pertahanan dan militer Jerman setelah Perang Dunia II.

Konsep ini, merupakan prinsip komando dan ketaatan dalam Angkatan Bersenjata Jerman (Bundeswehr) yang dituangkan dalam konsep “warga berseragam” (citizens in uniform). Konsep Innere Fuhrung ini dikembangkan dengan membangun apa yang disebut Pusat Gagasan Pengembangan Kepemimpinan dan Pendidikan Kewarganegaraan (Leadership Development and Civic Education) pada tahun 1953.

Lembaga ini mirip dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Indonesia. Lembaga Inner Fuhrung ini dibentuk dalam rangka pengurangan kekuasaan pemimpin dan membangun tanggung jawab bersama untuk kepatuhan sebagai suatu bangsa (national character building) sebagai akibat ekses kepemimpinan Jerman Nazi pada tahun 1950 yang totaliter.

Gagasan dan filosofi yang mendasari Innere Führung dalam konteks demokrasi, merujuk pada teori hubungan sipil-militer, yakni dengan memeriksa pentingnya nilai-nilai dan legitimasi yang berkaitan dengan fitur yang membedakan dari “warga negara berseragam”.

Konsep Innere Führung ini juga memetakan tujuan dan aplikasinya baik pada tingkat institusional maupun individu untuk mengatasi keseimbangan yang tepat antara fungsi-fungsi angkatan bersenjata di satu sisi dan nilai-nilai masyarakat secara keseluruhan di pihak lain.

Konsep yang diterapkan di Jerman saat ini memiliki karakteristik yang dinamis, karena pemikirannya sangat memungkinkan untuk merespons secara tepat perkembangan dalam masyarakat sipil. Hal ini juga dapat berfungsi sebagai model untuk kepentingan demokrasi di negara yang masih rentan dengan masalah politik pertahanan dan keamanan.

Pelajaran Bagi Indonesia

Konsep Innere Führung merupakan salah satu model yang cukup efektif dalam mendorong kehidupan demokrasi di Jerman. Pasalnya bahwa tujuan penerapannya adalah untuk mendamaikan fungsional kondisi operasional Angkatan bersenjata dengan kelompok liberal yang patuh pada prinsip-prinsip demokrasi konstitusional negara.

Yang menarik untuk kita kembangkan di Indonesia adalah melembagakan kehidupan demokrasi yang merujuk pada prinsip hak dan kewajiban sebagai warga negara yang patuh pada konstitusi dalam membangun bangsa dan negara tanpa adanya dikotomi sipil-militer.

Sebagai contoh, dalam bernegara setiap warga yang mempunyai hak politik dan kebebasan untuk berekspresi siapapun mereka, namun tetap senantiasa patuh pada aturan dan sistem nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Karena itu, semua elemen bangsa harus secara bersama-sama mengedepankan aspek persatuan dan menjaga keutuhan ketimbang membangun permusuhan serta memelihara nilai utama (core value) dalam rangka pertahanan dan keamanan negara.

Belajar dari kesuksesan demokrasi Jerman, dalam mewujudkan kepentingan nasional tersebut, diperlukan suatu konsep yang utuh dalam membina dan mendidik setiap warga negara dalam mengatasi berbagai dimensi konflik (politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologi/agama).

Paling tidak, saatnya pemerintah untuk dapat menghadirkan kembali mata pelajaran “pendidikan kewarganegaraan” sebagai solusi alternatif yang kini sudah di telan bumi.

Author: BRC

Leave a Reply