BRC Environment Care: Aksi Kolektif Bagi Karhutla
BRORIVAI CENTER > News > News > BRC Environment Care: Aksi Kolektif Bagi Karhutla

BRC Environment Care: Aksi Kolektif Bagi Karhutla

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau Sumatera dan Kalimantan menjadi perhatian dunia karena kebakaran itu terus terjadi setiap tahunnya semenjak 19 tahun yang lalu.

Kebakaran terjadi setiap tahunnya ini, tepatnya di musim kemarau panjang sesungguhnya telah lama menjadi masalah perdebatan antara Indonesia dan negara-negara tetangga ketika asap melayang di atas Singapura dan beberapa bagian Malaysia, termasuk ibu kota, Kuala Lumpur.

Menurut Founder Brorivai Center, Abdul Rivai Ras selaku pembina “BRC Environment Care”, menyampaikan bahwa kebakaran sekarang adalah terburuk dalam sepanjang sejarah yang pernah dialami Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Hal ini diungkapkan dalam diskusi yang membahas isu-isu stratejik dan global terkait seluk beluk terjadinya kebakaran dan pentingnya aksi kolektif (collective action) dalam mengatasi kasus karhutla yang berlangsung di Kantor Jaringan Riset dan Respons BRC, Jl. Kalisari Lapan No.47Jakarta, Sabtu (21/09).

“Sebab musabab kejadian karhutla, tidak terlepas karena tahun ini sangat kering dan adanya ulah perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab dengan mencari jalan pintas untuk membersihkan lahan melalui penggunaan metode termurah,” ungkap Rivai.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat kurang lebih 2.900 titik api yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, diduga sebagian besar dari mereka yang ingin membuka lahan perkebunan untuk menghasilkan minyak kelapa sawit turut andil dalam menciptakan awan asap tebal yang mengganggu sirkulasi udara dan kesehatan bagi manusia.

Dalam catatan diskusi bulanan itu, menegaskan bahwa saatnya upaya aksi kolektif dari semua lapisan masyarakat dapat terlibat menangani karhutla yang selama ini hanya mengandalkan aparat pemerintah.

Lanjut Rivai, pelibatan atau kerjasama pemerintah dan swasta (public-private partnership) harus dilakukan. “Adanya tingkat kesulitan yang tinggi dalam mengatasi kebakaran karena berhadapan dengan hutan yang cukup besar, lahan gambut yang luas, serta terbatasnya instrumen pemadaman menjadi keniscayaan pelibatan semua pihak termasuk terbuka dalam menerima bantuan internasional,” pungkasnya.

Demikian halnya dampak yang ditimbulkan dari karhutla ini sangat kompleks. Tidak hanya berdampak terhadap ekologi atau kerusakan lingkungan tetapi mencakup dampak terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, serta dampak terhadap hubungan antar negara (hubungan internasional).

“Kebakaran hutan kini menjadi kasus yang sangat serius, telah menarik perhatian masyarakat global karena dinilai ada unsur kesengajaan dan telah membakar lahan yang disebut sebagai paru-paru bumi,” tambahnya.

Kebakaran hutan di Riau Sumatera dan Kalimantan pada Selasa lalu, yang menghasilkan asap tebal telah mengganggu perjalanan udara, memaksa sekolah-sekolah tutup dan membuat ribuan orang sakit, sehingga Indonesia dapat menambah kekhawatiran bagi dunia karena menjadi sumber masalah bagi lingkungan serta keselamatan manusia.

Kini pemerintah telah menaburkan awan buatan dengan harapan dapat membawa hujan. Setidaknya juga terdapat 52 pesawat pemadam kebakaran yang telah dikerahkan di zona api dalam mengatasi kebakaran di sejumlah titik panas yang asapnya berpotensi dapat menyebar luas.(*)

Author: BRC