Makassar – Hari ini adalah hari pembelajaran politik dan demokrasi yang sangat berharga. Pasalnya, Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 merupakan pemilu yang pertama kali di Indonesia dilakukan secara serentak, yaitu memilih anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPRRI, DPD serta presiden dan wakil presiden.
Pemilu serentak yang diadakan pada tanggal 17 April 2019 ini menjadi catatan sejarah pemilu di Indonesia, karena tergolong sangat kompleks, unik, dan membutuhkan sosialisasi dan pendidikan politik yang masif agar mengurangi tingkat kesulitan bagi para pemilih pada saat berada di bilik suara.
Menurut Founder Brorivai Center, Abdul Rivai Ras, berhasil dan gagalnya sebagai peserta pemilu adalah konsekuensi demokrasi. Yang jauh lebih penting bangsa ini harus memahami bahwa substansi dari diselenggarakannya pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat. Pemilu ini dihadirkan sebagai instrumen untuk memastikan adanya transisi dan rotasi kekuasaan berjalan demokratis. Serta diharapkan menjadi sarana pendorong akuntabilitas dan kontrol publik terhadap negara.
“Pemilu kali ini sangat unik dan jadi pelajaran politik bagi rakyat kita. Sehingga kegagalan dalam pileg dan pilpres tidak dipandang sebagai suatu momok yang berakhir dengan frustasi. Dalam politik, dipastikan ada kalah- menang, sehingga semua pihak patut menyadari bahwa kekuasaan dalam politik itu bukanlah segala-galanya,” kata Rivai yang juga Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia ini pada saat ditemui awak Media (17/4).
Lanjut Rivai, kalah dan menang hanyalah persepsi dari sebuah hasil akhir. Ketika nilai-nilai sportifitas dan etika hidup di dalam jiwa kita junjung tinggi, maka dalam diri kita akan mengandung kekuatan untuk menerima kalah dan menang dengan penuh tanggung jawab dan senyum.
“Seseorang tidak ikhlas menerima kekalahan dari sebuah pertandingan yang terbuka dan terukur dengan aturan, maka dia sedang menciptakan monster amarah yang membuat dirinya kalah oleh dirinya sendiri. Untuk itu, menerima kekalahan adalah bukti bahwa kita telah berkontribusi untuk kemenangan”, jelasnya.
Diketahui, pemilu mempunyai 4 (empat) fungsi yaitu sebagai sarana membangun legitimasi, sarana penguatan dan sirkulasi elit secara periodik, sarana menyediakan perwakilan, dan sarana pendidikan politik bagi warga masyarakat.
Terkait dengan itu, Bro Rivai menilai bahwa kalaupun gagal sebagai peserta pemilu, kita telah banyak memperoleh pendidikan politik, setidaknya punya pengalaman politik, paham akan soal sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas parlemen, metode konversi suara, dan alokasi kursi per dapil, yang secara sadar telah dikupas tuntas pada saat persiapan, proses, hingga pengakhiran pemilu.
“Semua itu menjadi pelajaran politik berharga ketika mengalami kalah-menang dalam kompetisi. Menerima kekalahan atas dukungan dan kegagalan sebagai peserta pemilu harus disikapi secara ksatria dan bukan berarti sudah kiamat,” tutupnya.(*)