Debat Perdana Yang Menentukan
BRORIVAI CENTER > News > News > Opini > Debat Perdana Yang Menentukan

Debat Perdana Yang Menentukan

Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres dan Cawapres) putaran pertama adalah debat yang menentukan (decisive), apakah akan menambah kepercayaan calon dalam menopang elektabilitasnya atau sebaliknya justru akan menggerus keberadaan calon tertentu sebagai akibat performa yang dihadirkan belum prima dan mampu meyakinkan publik secara maksimal.

Meskipun debat pertama terhitung sebagai etape pemanasan yang mencakup isu hukum di Indonesia, namun debat ini adalah awal dan stimulus dalam menentukan terciptanya opini, serta menunjukkan kemampuan impresif para calon untuk merebut simpatik, hati dan pikiran rakyat, sekaligus dalam menjawab desas-desus tentang kisi-kisi debat yang dibocorkan KPU yang dinilai publik tidak meletakkan agenda debat ini sebagai ajang kompetisi yang akan bermutu dan seolah-olah hanya bersifat formalistik.

Tampil Berkualitas

Debat Capres, sejatinya merupakan kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program dan/atau citra diri peserta pemilu.

Karena itu, debat adalah wahana untuk menunjukkan siapa di antara capres-cawapres yang paling berkualitas dan menguasai masalah bangsa, memiliki solusi hingga bisa membawa bangsa menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Selain itu, debat dalam kontestasi politik adalah ruang utama para calon pemimpin untuk menyampaikan ide, pemikiran, program spesifik, peta jalan pembangunan yang ideal agar dapat dipahami masyarakat, apakah itu menjadi hal yang masuk akal atau hanya sekedar memberi janji spontanitas dalam merespons kehendak kelompok kepentingan (interest group).

Penyelenggaraan debat pada dasarnya merupakan hak publik untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kapasitas para calon yang akan menjadi pemimpin, sehingga dalam debat capres-cawapres putaran pertama ini, diduga masing-masing kandidat akan memulainya dengan taktik-taktik yang saling melemahkan, layaknya sebuah pertempuran pertama yang menentukan.

Medan debat para capres dan cawapres, harus semakin berhati-hati agar tidak terjadi serangan yang mematikan di antara mereka sehingga dapat menjadikan performa bagi salah satu kontestan memburuk dan membuat debat menjadi tidak produktif.

Debat yang sehat, seharusnya mengangkat hal-hal yang substantif dan dapat dielaborasi secara singkat, padat dan tepat waktu.

Hampir dipastikan bahwa meskipun poses debat kandidat ini dikemas dengan pendekatan infotainment, namun debat ini sifatnya mengandung “tekanan tinggi” karena disaksikan secara luas oleh publik yang akan menentukan pilihan.

Di sinilah kesempatan emas bagi para calon untuk mencuri perhatian para pemilih.

Selain itu, juga untuk memperagakan kebolehan mereka dalam berdebat, adu argumentasi, dengan para kompetitornya.

Sekalipun hasil debat tidak serta merta menjadi jaminan kemenangan pada hari pemilihan. Paling tidak contoh yang menarik pada kasus Hillary Clinton yang menang atas Donald Trump pada sesi debat.

Realitasnya Trump yang mampu memenangkan kompetisi dan terpilih menjadi presiden Amerika menggantikan Obama.

Debat Stratejik

Apapun itu, debat sesungguhnya merupakan salah satu alat ukur untuk melihat berhasil gagalnya suatu proses kegiatan kampanye dan menjadi faktor penting dalam menunjukkan retorika dan performa personal, termasuk karakter pribadi dan model kepemimpinan yang melekat pada masing-masing kandidat melalui audio-visual.

Sekalipun ajang ini bukan satu-satunya penopang bagi naik-turunnya elektabilitas para calon, tetapi debat ini sangat menentukan, apalagi dalam putaran pertama debat ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh publik.

Apalagi di antara calon itu adalah petahana dan penantangnya adalah capres yang sama sebelumnya saat pilpres 2014 lalu.

Para penantang akan dengan leluasa melakukan kritik terhadap berbagai kekurangan dan kekeliruan pada kinerja kepada petahana, sekaligus menyampaikan gagasan-gagasan baru yang dirasakan lebih benar dan segar sesuai dengan isu-isu mujarab yang digaungkan oleh lawan petahana.

Dalam debat, penantang baru yang akan melawan petahana akan mendapat kesempatan menyampaikan data pembanding mengenai banyak persoalan bangsa, baik itu ekonomi, sosial, maupun yang lainnya, yang bisa jadi berbeda dengan data yang digambarkan oleh petahana.

Sebaliknya, bagi calon petahana, debat di media terbuka melalui tv nasional menjadi kesempatan baik untuk menyampaikan apa yang mereka sebut sebagai keberhasilan dan kesuksesan program dan kerja nyata telah dilakukan serta akan terus dilakukan karena dirasakan ada manfaatnya.

Di samping itu, petahana memiliki ruang dalam menanggapi kembali semua kritik dari para penantang dan pendukung kandidat lawan melalui penjelasan data statistik atau fakta di lapangan yang dapat dilihat secara gamblang tentang kebenaran kerja nyata yang sudah diwujudkan.

Di sinilah debat menjadi arena stratejik bagi pembentukan opini dan penggiringan persepsi kepada siapapun kandidat ajang debat tersebut.

Setidaknya bagi petahana, dapat meyakinkan publik bahwa masih terdapat program-program baru yang dikembangkan dibanding sebelumnya yang jauh lebih baik dan lebih manjur daripada yang digagas calon penantang.

Demikian halnya penantang menawarkan terobosan baru pembangunan yang khas yang mempunyai nilai magnetik.

Kedua kandidat capres dan cawapres seharusnya bisa menjadikan panggung debat ini sebagai ruang penegasan bahwa baik petahana maupun penantang mempunyai kesungguhan, kapasitas dan kemampuan untuk bekerja demi kemaslahatan negeri ini.

Pemilih Milenial-Kritis

Hal lain yang penting dapat direbut oleh para kandidat dalam debat ini adalah bagaimana generasi milenial menjadi salah satu komoditi politik yang paling penting untuk dapat diyakinkan agar mereka merasa terjanjikan atas peluang masa depannya.

Suara generasi ini, didapuk dapat menyumbang suara terbanyak dari seluruh segmen pemilih di Indonesia.

Suara pemilih milenial dalam Daftar Pemilih Tetap KPU proporsinya sekitar 34,2 % dari total 152 juta pemilih dan keberadaannya kerap disebut bakal menentukan arah politik bangsa Indonesia ke depan.

Sehingga, tidak heran kini banyak yang dipasang calon-calon pemimpin dari daerah sampai ke pusat mengambil peran dengan figur muda yang menyesuaikan gaya milenial.

Dihadapkan pada data Badan Pusat Statistik, prediksi pemilih milenial pada Pilkada 2018 yang lalu sekitar 35 %.

Dalam konteks perilaku pemilih, kelompok milenial tergolong jenis pemilih rasional (kritis), karena mayoritas mereka pengguna media sosial dan melek akses informasi dan relatif rata-rata sudah terdidik sejak dini.

Perlu diketahui, bahwa ajang “debat” salah satu kebutuhan publik adalah mengakomodasi pembinaan generasi milenial, mengingat sasaran debat termasuk dalam tipologi pemilih rasional dan kritis.

Pemilih rasional adalah pemilih yang memiliki orientasi tinggi para policy-problem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi.

Pemilih milenial-rasional lebih mengutamakan kemampuan para calon dalam program kerjanya yang bisa dilihat dari kinerja pada masa lalu dan tawaran program untuk menyelesaikan persoalan yang ada.

Bagi pemilih ini, yang terpenting adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh para calon kontestan, apalagi tipologi pemilih milenial tergolong kritis, di mana mereka merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan calon dalam menuntaskan suatu problem dan tingginya orientasi mereka akan hal-hal ideologis.

Pemilih milenial yang kritis itu mulai menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada calon mana mereka akan berpihak, selanjutnya mereka akan mengkritik kebijakan yang akan atau telah dilakukan.

Bisa jadi juga mereka tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan, baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.

Dalam mencermati dinamika pemilih muda, setidaknya ada tiga kelompok partisipasi politik generasi milenial.

Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang alergi terhadap politik bahkan menarik diri dari proses politik yang ada, biasanya kelompok seperti ini kurangnya akses informasi dan terkesan terlalu eksklusif.

Kedua, kelompok spektator yakni mereka yang kurang tertarik dengan politik tetapi terkadang masih kerap menggunakan hak pilihnya.

Ketiga, kelompok gladiator yaitu generasi milenial yang sangat aktif di dalam politik seperti aktivis partai, aktivis organisasi dan milenial yang aktif sebagai pekerja kampanye.

Dari ketiga kelompok di atas, pemilih milenial hanya sedikit yang cenderung masuk pada kelompok apatis.

Realitasnya, pemilih milenial di sini selalu ingin mendapatkan pemimpin yang baru, tidak old fashion atau menjadi bagian dari kepentingan mereka untuk memandang hal yang saatnya harus berubah karena tidak efisien dan efektif, serta terus bisa beradaptasi dengan media dan teknologi digital.

Kesan yang dinilai yang ada pada kelompok kecil yang apatis pun tidaklah berarti mereka buta dan skeptis pemikiran. Bahkan pemilih milenial lebih tepat disebut sebagai kelompok yang “kritis” dan “rasional”, bahkan sudah berbasis ideologis.

Mereka lebih suka berpartisipasi dalam bentuk non-konvensional, karena bagi mereka makna partisipasi politik tidak hanya dalam arena pemilu, tetapi juga berlaku dalam arena pergerakan sosial lainnya.

Oleh karena itu, dalam debat capres dan cawapres, jangan sampai para kandidat lupa bagaimana mewadahi isu-isu hukum, moral dan karakter kepemudaan, seni dan olah raga, potensi kepemimpinan generasi milenial, janji akan pentingnya membangun wadah bagi aktivitas pendidikan yang responsif bagi kemungkinan pengembangan sumber daya muda, dan menyiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan perkembangan jaman yang kini dekat dengan teknologi informasi dan dunia digital.

Penulis: Dr. Abdul Rivai Ras (Founder BRORIVAI Center)

Author: BRC

Leave a Reply