Jakarta – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia. Berdiri di Yogyakarta pada 5 Februari 1947, saat ini HMI telah memasuki usia ke-72 tahun.
Didirikan dengan mengusung semangat keIslaman dan keIndonesiaan, HMI telah melahirkan berbagai tokoh bangsa. Sebut saja Lafran Pane, Nurcholis Madjid, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Akbar Tanjung, Anies Baswedan, dan masih banyak lagi tokoh pembangun negeri ini yang lahir dari ‘rahim’ HMI.
Di tengah arus globalisasi dalam berbagai aspek, HMI mendapat tantangan yang cukup berat. Karena HMI mencirikan organisasi Islam, maka paling tidak HMI mendapat tantangan dari aspek Islam itu sendiri.
Harus diakui, dalam beberapa tahun belakang ini, muncul aksi teror atas nama agama, kelompok yang ingin mengganti ideologi bangsa, serta kelompok literalis (yang malas membaca makna dibalik teks).
Tantangan HMI di Era Globalisasi
Tantangan paling besar saat ini adalah munculnya arus gerakan transnasional yang mulai menjalar ke Indonesia. Pengaruhnya dapat segera dirasakan sepertinya maraknya teror atas nama agama yang dalam dua dasawarsa terakhir kerap terjadi. Bahkan di daerah tertentu, kelompok separatis Islam kian menunjukkan eksistensinya dikhalayak publik.
HMI yang bercirikan Islam inklusif juga mendapat tantanganya dari maraknya pemikiran Islam yang ekslusif (menutup diri dari upaya ijtihad). Kelompok ini umumnya menolak sistem demokrasi dan ingin menegakkan bentuk pemerintahan model khilafah. Tak jarang, kelompok model ini memberikan label kafir pada atribut-atribut demokrasi.
Tolak ukur keberislaman model “Arab Minded”, oleh kelompok tersebut coba dikembangkan di Indonesia dan seolah dianggap sebagai model yang purna. Maka tidak heran, atribut-atribut berbau Arab dibentangkan dalam banyak kesempatan.
Maraknya kelompok literalis Islam sebagai efek dari momentum politik belakangan juga harus disikapi serius. Sebagian kelompok melegitimasi pilihan politik dengan dalil agama tanpa mengindahkan kaidah-kaidah tafsir yang seharusnya dipedomani dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Ayat al-Qur’an hanya dipahami pada satu sisi sebagai alat mengkafirkan orang lain sementara ayat lain dinafikan begitu saja. Minimnya pemahaman terhadap kaidah tafsir inilah yang menyebabkan orang tak terkendali ketika berbicara al-Qur’an dihadapan publik.
Universalitas al-Qur’an seolah direduksi untuk kepentingan sesaat (politik). Kelompok-kelompok literalis semacam ini seharusnya menjadi titik tembak HMI.
Munculnya Politik Identitas
Kini, HMI kembali berada dalam pusaran perdebatan yang mengemuka: formalisasi negara Islam (formalist Islamic state). Kondisi ini menguat terutama akibat munculnya “politik identitas” di dalam kampanye-kampanye Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 mendatang.
Munculnya kembali politik identitas ini berpotensi memecah integritas Indonesia yang sudah ditakdirkan kebhinekaanya. Tentu saja, kita berharap hadirnya pikiran-pikiran jernih seperti di era Cak Nur dalam menjawab tantangan model saat ini.
Ke depan, HMI harus mampu men-counter paham-paham radikal yang menjurus pada terorisme; kelompok-kelompok eksklusif yang hendak mengubah Indonesia menjadi Khilafah; serta kelompok literalis yang minim budaya membaca. Tentu kita berharap munculnya kader-kader HMI yang mampu menjawab persoalan keumatan dan kebangsaan.
Jaya HMI, Yakin Usaha Sampai!