SERI PENDIDIKAN POLITIK
Dr. Abdul Rivai Ras
Pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
dan Founder BRORIVAI Center
Manusia adalah zoon politicon, kata Plato dalam bukunya Republica. Sebagai bagian dari zoon politicon, manusia secara individual merupakan elemen terkecil dari sebuah negara.
Kumpulan individu-individu yang menempati daerah tertentu akan membentuk kesatuan masyarakat dan selanjutnya menjadi himpunan masyarakat yang menempati daerah atau wilayah yang lebih luas dan kemudian membentuk sebuah negara. Makanya, sebagai makhluk politik, eksistensi manusia tidak terpisahkan dengan konsepsi negara.
Bagi Plato, kumpulan individu yang membentuk masyarakat dan akhirnya memunculkan entitas negara adalah tujuan sempurna zoon politicon sehingga mencapai kebaikan bersama. Politik, dalam arti kata kesalinghubungan (interrelation) antarmanusia merupakan salah satu dimensi terpenting dari manusia.
Dalam pandangan Aristoteles, politik adalah kenyataan tak terelakkan dari kehidupan manusia. Kenyataan ini terlihat dari berbagai aktivitas manusia, misalnya, ketika manusia berusaha menduduki suatu jabatan tertentu, seseorang mencoba meraih kesejahteraan bagi dirinya atau golongannya dengan berbagai sumber daya yang ada, atau seseorang – institusi yang berusaha memengaruhi seorang yang lain atau institusi lain. Gambaran tersebut merupakan kenyataan politik dalam pemahaman seluas-luasnya.
Politik dalam pengertian yang ideal berusaha memanifestasikan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat. Pandangan ideal ini secara rasional berangkat dari logika berpikir sederhana dengan dikotomi hitam-putih; benar-salah. Aktivis politik yang berusaha mencapai impian menciptakan tatanan masyarakat yang baik akan menempuh jalan atau cara yang menurut kategorinya baik.
Namun dalam riil politik, logika berpikir demikian sungguh kenyataan yang sukar untuk diterapkan. Ini disebabkan realitas yang terjadi di masyarakat yang sangat kompleks.
Selain kita yang punya paramater tertentu tentang kebaikan, pihak lain juga memiliki hal yang sama. Alih-alih parameter itu sama, malah yang sering ada adalah perbedaan. Perbedaan ini dalam kapasitas yang lebih jauh akan sangat berpengaruh pada pola kepentingan yang berkembang.
Keanekaragaman kepentingan pada tahap tertentu menimbulkan konflik nyata yang tidak terhindarkan. Kepentingan yang menimbulkan konflik menjadi dasar tindakan yang kadangkala membenarkan segala cara.
Dalam perjuangan kepentingan inilah kekuasaan dikejar. Perjuangan yang kadang dijalankan dengan cara-cara tidak terpuji dan dilakukan hampir oleh sebagian besar politisi menimbulkan steotip bahwa politik itu kotor, keji, culas dan amoral.
Politik secara simplistik dipahami dengan kekuasaan. Dalam pemahaman ini kekuasaan merupakan konsep yang selalu menjadi acuan untuk memahami arti politik. Orang melihat bahwa politik merupakan cara meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Pada realitasnya kekuasaan adalah hanya salah satu aspek nilai yang terdapat dalam politik. Dalam politik sendiri terdapat nilai-nilai lain, antara lain, kekayaan, pendidikan, kesehatan, keahlian, penghormatan, penghargaan, afeksi, dan kebajikan.
Dengan melihat sisi lain nilai intrinsik yang terdapat dalam politik inilah etika, fatsun dan moralitas politik perlu ditegakkan.
Budaya politik merupakan suatu landasan sistem dalam suatu politik yang memberikan suatu arahan dan peran politik yang dilakukan oleh struktur politik.
Budaya politik ini merupakan suatu kata yang berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Yunani. Kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta “budhayah” yang berarti akal. Sedangkan politik merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu polis dan teta yang berarti kota atau negara. Jadi, budaya politik dapat diartikan sebagai suatu landasan akal dari suatu negara.
Secara garis besar, budaya politik dapat didefinisikan sebagai suatu pola perilaku atas kebiasaan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Budaya politik untuk berbangsa dan bernegara menyangkut berbagai pola perilaku masyarakat pada penyelenggaraan administrasi negara, adat istiadat, hukum, politik pemerintah, dan norma kebiasaan dari masyarakat.
Dalam suatu negara pasti mempunyai budaya politik yang berbeda-beda. Terjadinya suatu perbedaan pada budaya tersebut disebabkan oleh banyak hal, antara lain kondisi, situasi, dan pendidikan masyarakat dalam suatu negara.
Asal mula atau lahirnya suatu budaya politik pada dasarnya berasal dari lingkungan sekitar masyarakat. Hal itu karena masyarakatlah yang memiliki hak atau wewenang dalam membuat suatu kebijakan dan mengambil keputusan.
Perlu diketahui bahwa suatu budaya politik yang ada dalam suatu negara akan mengalami sebuah perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut disesuaikan dengan pemikiran masyarakat terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi pada saat itu.
Pemahaman tentang pengertian dasar dan inti dari sebuah “budaya politik” dapat dilihat dari berbagai perspektif sebagaimana pandangan para ahli dari beberapa negara sebagai berikut:
Kay Lawson berpendapat bahwa budaya politik merupakan adanya suatu perangkat yang memuat segala nilai politik yang terdapat pada suatu negara dan di seluruh bangsanya.
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1966) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi suatu bangsa negara pada suatu sistem politik negara dan berbagai macam bagiannya. Dalam sebuah budaya politik, sikap dan peranan dari warga negara sangat mempengaruhi sistem budaya politik tersebut.
Samuel Beer berpendapat bahwa budaya politik merupakan suatu nilai-nilai politik dan sikap-sikap emosi tentang sebuah pemerintahan dalam suatu negara. Dalam pendapatnya, ia menyatakan bahwa dalam sebuah budaya politik dijelaskan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah.
Austin Ranney (1996) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu perangkat suatu gambaran akan suatu politik dan sistem pemerintahan yang dihandel secara bersamaan dalam sebuah orientasi pada objek-objek politik.
Alan R. Ball (1963) berpendapat bahwa budaya politik adalah suatu susunan pemikiran yang mencakup tentang sikap, emosi, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat yang berkaitan dengan sistem dan isu-isu politik.
Lary Diamond (2003) menjelaskan bahwa budaya politik merupakan sebuah sikap, nilai-nilai, gagasan pokok, sentimen, keyakinan, dan evaluasi yang dimiliki oleh masyarakat dalam sistem politik pada masing-masing negara. Peran masyarakat atau peran individual sangat berpengaruh dan sistem politik tersebut.
Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000) mengemukakan pendapat tentang budaya politik sebagai suatu sikap dan orientasi yang dimiliki oleh setiap warga negara dalam sebuah pemerintahan negara dan segala sistem politiknya.
Dari beberapa pandangan tentang budaya politik menurut para ahli tersebut, dapat disederhanakan bahwa budaya politik merupakan sebuah sikap, ide-ide, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh warga masyarakat dalam suatu negara pada sistem politik pemerintahan beserta dengan isu-isu politiknya.
Seperti diketahui bahwa setiap negara pasti memiliki budaya politik yang berbeda-beda dan tidak terkecuali Indonesia.
Dalam perkembangannya, budaya politik di Indonesia terbagi menjadi tiga garis besar yakni: pertama, budaya politik tradisional atau keetnisan; kedua, budaya politik Islam yang mana merupakan suatu pendekatan terhadap agama Islam; ketiga, budaya politik modern yang mana merupakan suatu pendekatan untuk memajukan suatu keamanan yang stabil.
Dalam studi budaya demokrasi di Indonesia, nampak selalu mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Karena itu, terjadinya suatu perubahan dalam budaya demokrasi satu negara seperti di Indonesia, sangat mempengaruhi kestabilitasan sistem politik nasional.
Untuk itu, perlu adanya suatu studi tentang keberhasilan atau kegagalan dari suatu rezim dalam sebuah negara. Studi tersebut tentunya berkaitan erat dengan dinamika politik di Indonesia dalam mengatur ketatanegaraan suatu kehidupan dalam berbangsa dan bernegara .
Di Indonesia sendiri ada dua kerangka kerja yang khusus digunakan untuk mengamati kinerja atas berjalannya suatu sistem politik suatu negara.
Untuk menentukan berjalan atau tidaknya suatu sistem politik dari suatu negara, maka para penstudi politik, menganalisis dengan membedakan setiap sistem politiknya. Objek dalam sistem yang dibedakan dalam hal ini adalah organisme atau individu dari suatu negara.
Di dalam sebuah sistem budaya politik seperti di Indonesia, ada dua macam perangkat kerja yang dapat digunakan yakni, kerangka pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik.
Dari kerangka kerja yang ada, para penstudi politik diharapkan dapat mengetahui tentang kinerja dan perilaku aktor-aktor politik negara di Indonesia.
Secara umum, tipe-tipe budaya politik di Indonesia dapat diidentifikasi dalam tiga keompok yakni: pertama, budaya politik parokial. Kelompok ini menggambarkan suatu budaya politik yang memiliki tingkatan partisipasi politik yang paling rendah. Tipe budaya ini pada umumnya berlaku untuk masyarakat dari negara Afrika dan masyarakat pedalaman di Indonesia.
Uniknya dari tipe budaya politik ini nampak tidak adanya suatu peran politik yang bersifat khusus. Pengaturan segala budaya politik dari lingkungan tersebut pada umumnya dikendalikan oleh kepala suku atau kepala kampung tersebut.
Kedua, kelompok budaya politik kaula (subjek). Budaya politik ini dianggap telah memiliki sistem ekonomi dan sosial yang relatif baik. Meskipun dalam sistem ekonomi yang bersifat pasif dan kebijakan pemerintahannya tidak terlalu diperhatikan, namun secara umum budaya politik ini sudah memuat pengetahuan yang memadai.
Ketiga, budaya politik partisipan. Kelompok ini merupakan sebuah politik yang didasari dengan suatu peranan politik yang sangat tinggi. Peran masyarakat yang aktif dalam kegiatan politik memberikan pengaruh pada masyarakat akan pemahaman politik yang lebih baik.
Berikut beberapa contoh budaya politik di Indonesia yang seringkali dilakukan oleh masyarakat, antara lain: budaya politik parokial dan kaula. Bagi kelompok parokial nampak tidak berpartisipasi dalam mengikuti pemilu (golput), tidak peduli dengan kepentingan bangsa dan negara, dan bahkan tidak peduli dengan aksi politik yang ada di depan mata.
Sedangkan dalam contoh budaya politik kaula, nampak dalam kehidupan sehari-harinya kelompok ini enggan berpartisipasi secara langsung dalam politik dan tidak memiliki keberanian dalam menyampaikan pendapat politik.
Sungguh disadari bahwa, kehidupan politik di setiap negara memiliki sistem yang berbeda, ada yang pasif dan ada pula yang aktif. Sehingga dalam perkembangan suatu sistem budaya politik dari suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintah dan pola pikir masyarakatnya.
Panasnya tahun politik menuntut setiap politisi, parpol dan calon kepala daerah atau calon presiden untuk mengedepankan kesantunan dalam berpolitik.
“Santun berpolitik” dimaknai bahwa aksi politik bukanlah politik yang membawa perpecahan, bukan politik yang saling menghujat, bukan politik yang saling mencela, bukan politik yang saling memaki.
Budaya politik di Indonesia sejak dulu adalah budaya politik yang penuh etika dan kesopanan. Jika ada pihak tertentu yang mengajak masyarakat untuk memiliki budaya politik yang menghujat dapat dinilai sebagai tindakan yang tidak bermoral dalam politik.
Karena itu, bentuk kesantunan dalam berpolitik mencakup komunikasi dan interaksi melalui penuturan kata yang lemah lembut disertai dengan tingkah laku yang halus dan baik.
Intinya kesantunan seseorang akan terlihat dari ucapan dan tingkah lakunya. Santun tercakup dalam dua hal yaitu santun dalam berucap dan santun dalam perbuatan.
Jadi “santun berpolitik” dapat dilihat dari bagaimana berkata yang baik, tidak memecah belah, tidak menghujat, menghina atau merendahkan, dan tidak menjatuhkan lawan politik dengan cara-cara kotor.
Berbeda dengan pengertian “politik santun” ditinjau dari konsep budaya politik yang berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang menjadi dasar bagi semua tindakan atau yang lazim disebut “fatsun politik”.
Fatsun disini diartikan sebagai sopan santun dan etika. Sementara dalam konteks “fatsun politik” adalah etika politik yang santun. Santun dalam arti mampu memberikan pembelajaran sekaligus pendewasaan dalam menyampaikan pendapat kepada khalayak umum.
Etika politik “santun” disini dimaknai sebagai budaya untuk selalu memberi solusi bukan masalah. Konsep ini diarahkan untuk memberikan ruang sekaligus cara bahwa dalam menyelesaikan masalah politik, tahapan proses sampai dengan pengambilan keputusan akhir tetap harus memberikan orientasi pembelajaran bagi publik melalui fatsun politik.
Budaya politik yang baik/santun seharusnya dapat membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial politik.
Karena itu “budaya politik santun”, secara realitas dapat dilihat dari suatu tindakan yang bersih (bebas dari KKN) dan beretika dalam sistem politik dan pemerintahan yang baik, serta dalam memperkokoh integrasi nasional.
Cakupan substansi dari aplikasi politik santun dapat dilihat dalam beberapa upaya antara lain:
Pertama, mengembangkan etika politik dan pemerintahan yang mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Kedua, melakukan upaya penanaman suatu kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukan semata politik kekuasaan, melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas, dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis.
Ketiga, membangun budaya politik santun, bersih dan beretika yang merupakan wujud dari perilaku dan sikap para elite politik yang mampu menjauhi perbuatan yang dapat merugikan kepentingan persatuan dan kerukunan dalam berbangsa dan bernegara.
Menurut pemikir filsuf Yunani yakni Socrates, performa “politik yang baik/santun” adalah suatu tindakan politik yang selalu berorientasi pada kemaslahatan rakyat, kemajuan, kesejahteraan, keamanan dan bagi kepentingan ketahanan bangsa.
Sebagai contoh, bangsa Romawi mampu menjadi bangsa besar karena dorongan moral dan fatsun politik untuk menjadi bangsa yang besar. Namun pada sisi yang lain kejayaan bangsa Romawi juga runtuh pada akhirnya karena persoalan ambruknya moral bangsa (rendahnya politik santun) Romawi kala itu.
Dalam performa politik nasional, sebenarnya terletak pada masalah kebangsaan kita, yang seharusnya dapat dimulai dari mengukur persoalan moral generasi anak bangsa, dimana umumnya masih berpikir sempit, misalnya tidak banyak ingin menjadi pekerja yang beretos tinggi, lebih banyak yang mengagungkan kuasa dan kekuasaan, sangat jarang melakukan perjuangan yang ditempuh dengan jalan normal, semua ingin instan, para politisi ingin menjadi mashur dengan jalan yang instan – sehingga yang tejadi kemudian menempatkan etika politik tidak lagi hadir dengan menggunakan “hati” ketika mereka berkuasa.
Padahal hakikatnya pandangan “politik santun” ala Socrates, seseorang penguasa seharusnya mempunyai perilaku “yang baik”. Meskipun pemikiran politik Socrates tidak menyetujui tentang konsep demokrasi yang didasarkan pada suara mayoritas atas alasan bahwa tidak semua orang (dalam mayoritas) memiliki pengetahuan dan tingkah laku yang baik.
Praktik “politik santun” yang kini belum optimal dan efektif dapat dihubungkan dengan suatu tindakan dan kebijakan oleh penguasa, yang mana masih luput pada keberpihakan kepada rakyat.
Studi kasus di Indonesia misalnya, mengenai kebijakan Perpres tentang Tenaga Kerja Asing, yang dinilai sejumlah pihak masih merugikan tenaga pribumi dan bahkan belum seutuhnya beriorientasi pada kemaslahatan rakyat negeri ini. Termasuk kebijakan impor pangan, impor dosen asing, dan segudang impor komoditas lainnya yang seharusnya dapat dilakukan secara terukur.
Isu-isu lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan kemampuan penguasa yaitu, mengatasi korupsi yang kini menggurita, peredaran narkoba, penjualan aset negara dan SDA, merebaknya kasus kekerasan kemanusiaan, meluasnya seks bebas dan dekadensi moral lainya.
Selain itu, ketimpangan hukum dan ketidakadilan yang sering terjadi di negeri ini juga masih dinilai belum dapat diatasi secara tuntas dan bahkan cenderung dirasakan meningkat.
Perilaku penguasa, pejabat negara, dan elit partai yang selama ini belum banyak menjalankan politik santun, pada dasarnya masih sejalan dengan pemikiran Socrates, yang menekankan bahwa praktik politik santun di negara demokrasi tidak sepenuhnya dapat terwujud karena secara kodrati lebih hanya sekedar mengejar kekuasaan tanpa fatsun politik.
Dalam memperkuat ketahanan bangsa, seyogyanya pemerintah dapat mengembalikan program pembelajaran budi pekerti (civic education) untuk dapat mendorong pengembangan “budaya politik yang baik (santun) sebagai bagian dari pendidikan politik.
Pendidikan politik melalui pelaksanaan “civic education” tersebut diharapkan dapat menjadi pondasi terbentuknya watak pemimpin, politisi dan generasi yang dapat diunggulkan dan paham tentang budaya dan etika politik.(*)