Perlukah Kementerian Penanggulangan dan Mitigasi Bencana?
BRORIVAI CENTER > News > News > Opini > Perlukah Kementerian Penanggulangan dan Mitigasi Bencana?

Perlukah Kementerian Penanggulangan dan Mitigasi Bencana?

Indonesia dijuluki sebagai negeri rawan bencana karena berada dalam pusaran ring of fire. Lalu, muncul wacana menjelang Pilpres 2019 tentang keinginan salah satu Capres untuk membentuk suatu kementerian negara yakni, Kementerian Penanggulangan dan Mitigasi Bencana.

Nah, tentu diantara kita banyak yang bertanya-tanya, seberapa perlukah kementerian itu dan bagaimana nasib lembaga-lembaga yang kini sudah terbentuk seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Basarnas dan BMKG, serta beberapa lembaga lain maupun kementerian terkait?

Mari kita menguji urgensinya, apakah memang menjadi kebutuhan atau tidak. Atau jangan sampai karena kebutuhan kampanye politik, setiap perhelatan Pilpres selalu terlahir gagasan pembentukan kementerian atau institusi baru, yang sesungguhnya belum tentu menjadi sesuatu yang efisien dan efektif dalam menopang pembangunan serta tata kelola pemerintahan yang baik.

Mengembangkan kementerian baru bukanlah yang mudah karena harus mempertimbangkan banyak hal, mulai dari kebutuhan infrastruktur, penyediaan sumberdaya manusia, sinkronisasi administrasi berbagai lembaga, dukungan anggaran hingga kesinambungan lembaga itu sendiri di kemudian hari.

Dalam konteks wacana pembentukan kementerian penanggulangan dan mitigasi bencana, perlu dipastikan bahwa apakah dalam jangka panjang dapat menjadi lembaga yang primer dan relevan sesuai dengan kebutuhan bangsa kita sebagai negara yang rawan bencana alam.

Masalah mendasar yang lain yang harus menjadi perhatian adalah isu yurisdiksi kewenangan, dimana otoritas penanganan krisis atas bencana bersifat multi-sektor, dan memerlukan penegasan atas pembagian tugas yang jelas. Sehingga yang patut dicermati antara lain; dampak dari pengintegrasian sejumlah lembaga yang memiliki domain terkait kebencanaan dan potensi adanya kandungan pemborosan terhadap sumberdaya dan keuangan negara.

Di banyak negara, sekalipun pada bangsa yang rutin ditimpa bencana, lembaga yang bekerja mengurusi penanggulangan dan mitigasi bencana lazimnya diserahkan kepada suatu lembaga yang disebut “Dewan Keamanan Nasional atau Dewan Manajemen Bencana”. Karena bencana itu dinilai tidak saja berurusan dengan bencana alam yang berdimensi sosial, tetapi juga berurusan dengan bencana politik karena ulah manusia.

Belajar dari perbandingan negara lain yang tergolong maju seperti Amerika Serikat, lembaga yang mengurusi bencana alam dikendalikan oleh suatu lembaga yang disebut FEMA (Federal Emergency Management Agency), yaitu badan penanggulangan bencana milik pemerintah dibawah Department of Homeland Security.

Meskipun Departemen ini setingkat kementerian, namun lembaga ini bekerja tidak hanya spesifik dalam urusan krisis karena bencana alam, tetapi juga mengurusi segala bentuk kedaruratan yang berhubungan dengan ancaman keselamatan dan keamanan manusia, seperti terorisme dan bencana lain buatan manusia.

Berbeda bila kita belajar dari negeri Sakura Jepang, yang memiliki lembaga atau kementerian khusus yang mengurusi bencana alam, yang boleh jadi sebagai sumber inspirasi bagi Indonesia terkini.

Dalam sistem manajemen bencana Jepang, telah ditunjuk seorang menteri negara untuk “manajemen bencana” yang bertugas merencanakan kebijakan dasar tentang manajemen dan rencana-rencana bencana, serta membuat koordinasi menyeluruh dalam menanggapi bencana skala besar.

Dalam keadaan normal, sejumlah menteri negara terkait, perwakilan organisasi peduli bencana, dan ahli yang relevan membentuk apa yang disebut “Dewan Manajemen Bencana Pusat” dan berada di bawah kendali Kantor Kabinet untuk membahas hal-hal penting seperti pengembangan rencana manajemen bencana nasional dan kebijakan dasar dan untuk mengambil tanggung jawab, mempromosikan penanggulangan bencana komprehensif dan merumuskan kebijakan utama.

Sistem pengendalian bencana di Jepang dikelola dalam tiga tingkatan yakni, tingkat nasional, wilayah/provinsi (prefektur), dan Kota. Kepala setiap tingkatan yang ada bertanggung jawab penuh atas yurisdiksi dalam struktur yang mirip dengan tingkatan pemerintahan dalam suatu negara.

 

Mekanisme kerja dan rencana pencegahan bencana menyeluruh dikembangkan sesuai dengan peran yang akan dilakukan pada setiap tahap atau tingkatan. Dalam hal terjadi bencana, atau di mana ada risiko bencana, Kantor Kabinet, dengan kerja sama kementerian dan lembaga terkait, memimpin dalam penanggulangan, sesuai dengan tingkat dan skala bencana.

Pada dasarnya, model dan sistem pengendalian bencana Jepang, sudah dipraktikan di Indonesia meskipun secara manajemen bersifat non-kementerian dan berbentuk sebagai lembaga mandiri yang disebut BNPB. Secara hirarkis, lembaga ini juga sudah bekerja secara berjenjang seperti halnya di Jepang. Namun yang menjadi isu besar saat ini adalah penentuan skala bencana/krisis, pola respons cepat baik tingkat pusat dan daerah, adanya tumpah-tindih kewenangan, serta kendala terbatasnya sarana prasarana dan sumberdaya yang tersedia.

Polemik lemahnya penanganan bencana di Indonesia umumnya selalu dikaitkan dengan dua isu klasik yakni “sistem manajemen” dan “ketercukupan sumberdaya anggaran”. Bila urgensi pembentukan kementerian dengan alasan kurang efektifnya sistem manajemen dan terbatasnya sarana prasarana dan dukungan anggaran, tidaklah berarti dengan membentuk kementerian menjadi efektif dan alokasi anggaran menjadi lebih besar.

Meskipun sebesar-besarnya anggaran yang disiapkan oleh pemerintah dalam mengatasi bencana tetap harus ada estimasti tentang biaya resiko bencana secara terukur dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.

Karena itu, wacana keberadaan BNPB, Basarnas dan BMKG yang akan diwadahi dalam satu kementerian negara, hanyalah sebagai bentuk penyederhanaan komando, tetapi tidak berarti upaya ini dapat menjamin lahirnya suatu lembaga yang semakin efisien meskipun secara otoritas tingkatannya akan menjadi lebih tinggi dan perannya lebih luas.

Tetapi bila lembaga ini diangkat pada tingkat kementerian, karena alasan urusan bencana alam yang tidak saja berkaitan dengan peringatan dini, dukungan keselamatan manusia, bantuan pemulihan dan mitigasi, maka wacana ini dapat dipertimbangkan. Risiko akibat bencana tentu disadari mencakup banyak aspek, baik yang berurusan dengan penanganan infrastruktur dalam tahapan pemulihan dan rekonstruksi maupun mitigasi sosial lainnya, membutuhkan koordinasi antar-kementerian yang efektif.

Bahkan untuk masuk ke arena kerja kebencanaan, membutuhkan sejumlah dimensi keahlian khusus, termasuk kemampuan fisik yang memadai dan terlatih. Tidak mengherankan dalam pengendalian dan penanganan bencana juga melibatkan sejumlah lembaga dan kementerian antara lain, kementerian kesehatan kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat, kementerian lingkungan hidup, kementerian pendidikan, bahkan kementerian pertahanan melalui pengerahan kekuatan TNI sebagai bagian dari konsep operasi militer selain perang.

Penanganan dan penanggulangan bencana harus dilihat dari spektrum risiko dan ancamannya, mengingat pihak yang bekerja di dalamnya bersifat multi-sektor sesuai dengan kapasitas dan otoritas fungsionalnya masing-masing. Pada tingkat taktis urusan keselamatan seperti urusan search and rescue, bantuan logistik, dan upaya mitigasi menjadi satu kesatuan dalam penanganannya, tapi secara manajerial memerlukan komando yang berbeda.

Lagi-lagi urusan penanganan isu strategis seperti bencana alam selalu bertumpu pada koordinasi antar kementerian/lembaga fungsional yang diatur dalam suatu regulasi berdasarkan domain masing-masing, serta dalam peran pelibatannya berbasis pada tingkat eskalasi risiko, kedaruratan, krisis dan dinamika ancaman bencana itu sendiri.

Mengingat isu bencana alam adalah urusan sosial, maka seyogyanya fungsi koordinasi kementeriannya berada dibawah penyelenggaraan pemerintahan di bidang sosial, misalnya berada di kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.

Adanya rencana penempatan BNPB yang akan berada dibawah koordinasi kementerian koordinator bidang politik, hukum, keamanan, kemudian menjadi isu baru yang harus didiskusikan lebih lanjut, karena kebencanaan dan kedaruratan seperti di Amerika Serikat dinilai lebih dekat dengan urusan politik keamanan. Pasalnya, masalah kebencanaan tidak saja bernilai sosial tetapi juga bernilai keselamatan yang diletakkan dalam konteks keamanan nasional.

Intinya bahwa, urusan kebencanaan ini sangat kompleks dalam penanganannya, dan bila ingin disederhanakan, tidak kemudian membentuk kementerian yang secara portofolio dapat membuat rumit lembaga dan kementerian fungsional yang sifatnya memiliki domain komplementer dalam berbagai isu dan tantangan pemerintahan. Seharusnya lembaga yang kini sudah ter-set up sesuai fungsi dan kewenangannya justru perlu disempurnakan serta ditingkatkan kapasitasnya dalam mengembangkan sistem manajemen bencana.

Hal terpenting di negeri ini yang sangat mahal untuk harus dilakukan adalah bagaimana membangun mekanisme koordinasi yang efektif. Rendahnya koordinasi telah turut melemahkan manajemen bencana yang pada gilirannya misi kemanusiaan yang diemban belum sepenuhnya optimal.

Selama ini kita masih seringkali berhadapan dengan kepentingan pengendalian sumberdaya dan pertarungan dalam merebut alokasi anggaran yang sebesar-besarnya di banyak kementerian/lembaga, yang notabene kerapkali menjadi penyebab lahirnya ego-sektoral dalam mengurusi masalah bangsa ini. (*)

Author: BRC

Leave a Reply