Cuitan salah satu pendiri sekaligus CEO Bukalapak Achmad Zaky di akun Twitternya, pada Selasa 13 Februari 2019 terkait anggaran riset dan pengembangan (Research and Development/R&D) Republik Indonesia tengah viral di perbincangkan di kalangan netizen.
Tentu, menjadi sebuah perhatian khusus apalagi masa sekarang adalah masa sensitif menjelang pilpres, kalimat yang dilontarkan salah satu pemilik marketplace terbesar di Indonesia ini sebenarnya bukan hal yang baru, namun perlu untuk didiskusikan agar tidak menimbulkan kegaduhan politik.
Selain itu, isu ini menjadi senjata makan tuan, karena disamping munculnya reaksi para pendukung Jokowi yang marah dan melempar tagar #Uninstallbukalapak dan menjadi trending topik nomor satu di Twitter, hal ini tentunya dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar serta persaingan usaha yang tidak sehat.
Meskipun CEO Bukalapak Ahmad Zaky telah bertemu dan mendapat nasihat dari Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (16/2/), dampak cuitan dan meluasnya propaganda politik yang membenturkan antara pebisnis ekonomi digital pribumi dan non-pribumi menjadi persoalan tersendiri yang terus digaungkan.
Ini berbahaya, jika gerakan tersebut bergulir terus dalam interval waktu yang lama, bukan tidak mungkin akan meluas menjadi bola liar dan berimplikasi secara negatif terhadap platform ekonomi yang sedang tumbuh dan merusak iklim demokrasi, khususnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di era demokrasi dan digital seperti ini, permasalahan kebijakan pemerintah yang tidak memihak akan mudah untuk terkoreksi dan menjadi isu sentral dan bahan diskusi bagi netizen. Karena itu, dalam mengkritisi pemerintah yang berkuasa sangat efektif melalui media sosial untuk membangunkan emosi publik, apalagi di tengah perhelatan politik menjelang pilpres, apa saja bisa menjadi isu dan bahan serangan politik.
Sekalipun cuitan Zaky menggunakan data lama (2016) yang menempatkan Indonesia pada urutan 43 dengan nilai USD2 miliar di bawah posisi Malaysia dan Singapura, tetapi menarik untuk ditelusuri, apakah ketertinggalan investasi R&D kita yang rendah itu menjadi bagian dari ketidakpedulian pemerintahan Jokowi?, atau dalam sepanjang sejarah Indonesia, R&D dinilai belum menjadi hal yang menarik untuk diprioritaskan dalam pembangunan nasional.
Seyogyanya kita dapat mengkaji isu ini secara akademik, karena faktanya data yang dilontarkan itu membuat gusar banyak orang dan nampak menyita perhatian publik karena turut merugikan secara politik bagi pihak yang akan berkontestasi.
Terlebih isu ini muncul bertepatan pada momen politik menjelang Pilpres, sehingga “twit” semacam itu dapat di salahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Penggiringan opini oleh netizen yang kurang sedap kemudian mendiskreditkan Bukalapak bukan hal utama yang perlu dipersoalkan dan dibesar-besarkan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana menyikapi fakta bahwa cuitan itu dapat diangkat sebagai tema sentral yang dapat dibahas oleh para pemangku kepentingan seperti kementerian dan lembaga terkait, pemerhati pembangunan, akademisi/perguruan tinggi, termasuk legislatif sebagai sesuatu isu yang penting.
Setidaknya dapat dititipkan kepada para calon pemimpin atau presiden mendatang. Diharapkan mereka punya janji untuk dapat meningkatkan anggaran R&D Indonesia, dan tidak lagi meletakkan isu ini sebagai urusan terbelakang, apalagi dalam merespons era revolusi teknologi 4.0 atau bahkan 5.0 yang kini menjadi polemik.
Seperti diketahui, makna yang dapat ditarik dari cuitan Zaky adalah menjadi pemantik yang menyampaikan fakta bahwa 20 sampai 50 tahun ke depan, Indonesia memerlukan investasi riset dan sumber daya manusia (SDM) kelas tinggi agar tidak kalah dengan negara lain.
Fenomena yang menarik dari cuitan Achmad Zaky tersebut adalah, mengapa pada setiap pemerintahan tidak menjadikan R&D menjadi sesuatu yang patut dikedepankan?. Padahal isu ini telah lama diimpikan bagi para peneliti di Indonesia.
Kini saatnya pemerintah atau pemerintahan mendatang mulai mendorong sektor pengembangan riset, karena dengan begitu hal ini bisa menjadi loncatan munculnya periset-periset handal yang kompetitif tanpa harus ke luar negeri. Disamping itu akan banyak terobosan baru yang dapat dikembangkan secara inovatif demi kemajuan bangsa.
Secara garis besar budgeting R&D kita memang terbilang cukup rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Ketika ditelisik lebih jauh, isu R&D sudah tertinggal dan berlangsung sejak lama, bukan saja pada pemerintahan Jokowi, tetapi terjadi pada pemerintahan sebelumnya dari masa ke masa. Sebab, dari presiden sejak Soekarno hingga sekarang, tercatat hanya di masa pemerintahan BJ. Habibie pada tahun 1998-1999 keberpihakan pada dana R&D nampak sedikit meningkat, dimana banyak industri strategis dari hasil riset yang bermunculan dan mempunyai kualitas yang bagus.
Jadi, jika dilihat secara utuh, pemerintah saat ini tidak dapat sepenuhnya menanggung kesalahan ini, namun perlu dikoreksi dan menjadi pemicu di tengah kemajuan teknologi dan revolusi industri.
Secara konseptual dalam menilai kemajuan pembangunan bangsa dalam berbagai bidang, dapat dilihat dari anggaran pada riset dan pengembangan yang tersedia untuk memastikan program pembangunan yang efektif dan efisien. Pasalnya, R&D merupakan salah satu faktor yang membedakan suatu negara maju atau negara yang masih tertinggal.
Menjadi keniscayaan, dalam mendorong investasi R&D ke depan harus menjadi tanggungjawab kita bersama. Bagaimana membangun kesadaran meneliti di negeri kita untuk tetap menciptakan hal-hal baru bagi bangsa dan negara di masa mendatang. Namun, dalam mendorong R&D juga diperlukan undang-undang agar pengalokasian dapat disesuaikan dengan kunci pengembangan yang semestinya. Dengan seperti itu, R&D Indonesia bisa ditingkatkan dari masa ke masa oleh siapapun yang menjadi “presiden”.
Berdasarkan data mutakhir, R&D Indonesia seperti yang dihimpun Brorivai Center dari sejumlah data digital yang tercatat dalam R&D Magazine, IMF, Bank Dunia, CIA World Fact Book, dan OECD, bahwa dana gross expenditure on R&D (GERD atau belanja penelitian dan pengembangan terhadap PDB) Indonesia pada 2017 (actual) sebesar USD9,88 miliar atau 0,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) sebesar USD3.243 miliar.
Sementara pada 2018 (estimasi), dana gross expenditure terhadap R&D Indonesia sebesar USD10,58 miliar atau setara 0,31 persen dari PDB sebesar USD3.414 miliar.
Sedangkan proyeksi di 2019, dana gross expenditure terhadap R&D Indonesia sebesar USD11,17 miliar atau setara 0,31 persen dari PDB USD3.602 miliar.
Dari data tersebut di atas, kita harus tetap punya optimisme karena masih terdapat kenaikan secara gradual dari waktu ke waktu. Sekalipun kenaikannya belum memadai, kita tidak boleh larut dengan situasi politik yang justru merugikan Indonesia sendiri.
Kita jangan sekedar terperangkap pada berbagai gerakan politik seperti tagar #unisntallbukalapak versus #bukanbapak dan sebagainya. Sebab ini hanya mendatangkan petaka dan preseden buruk bagi kemajuan demokrasi kita, dimana sekelompok oligarki politik yang bisa dengan puas bermain hal-hal yang tidak substantif, lalu kemudian dengan ketidaktahuan publik, secara tidak sadar membantu membenarkan pesan-pesan dan semburan negatif yang hanya memecah persatuan dan kesatuan bangsa.(*)