MAKASSAR– Fenomena kotak kosong dinilai sebagai anomali dan merupakan gejala mundurnya demokrasi di Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh Abdul Rivai Ras, ia menyebut regulasi untuk mencegah terjadinya pertarungan dengan sekedar melawan kotak kosong, dan seharusnya tidak boleh diberi ruang untuk hadir di dalam sistem politik di Indonesia.
“Dalam ilmu politik terkait dengan teori demokrasi dan teori kompetisi, sesungguhnya tidak dikenal kotak kosong, sehingga perlu adanya evaluasi tentang mekanisme penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tersebut,” ungkapnya, Jumat (4/5/2018).
Terkait dengan belum adanya aturan kampanye kotak kosong dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, saatnya untuk dapat dipertimbangkan dan diupayakan untuk dituangkan dalam Undang-Undang.
“Demikian halnya kotak kosong itu bukan kandidat yang bisa dipertandingkan di dalam sebuah program kompetisi politik sehingga tidak relevan dan tidak perlu diberi ruang sebagai model yang baik dalam kontestasi kandidat versus kotak kosong,” tandasnya.
Lebih lanjut, kata Bro Rivai, partai politik (parpol) yang punya kewenangan mengusung pasangan calon tidak boleh mendominasi atau borong dukungan yang akhirnya 90% semua mendukung satu pasangan calon, meskipun ada calon alternatif melalui independen.
“Dalam konteks Pilwalkot Makassar dan Pare-pare, menurut ilmuwan politik ini, semua hal ini terjadi karena terkait isu pelanggaran hukum yang sesungguhnya kewenangannya ada di Bawaslu atau Panwaslu,” pungkasnya.
Meskipun disinyalir didalamnya terdapat upaya politik hukum, tetapi by process dinilai absah meskipun masih dapat diperdebatkan secara akademik.
“Sebaiknya ke depan diperlukan terobosan baru seperti dibentuknya semacam Mahkamah Pemilu agar setiap upaya hukum yang berdimensi politik yang dibawah ke meja peradilan umum atau tata usaha tidak merugikan pihak lain, termasuk dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menyulut konflik,” tutupnya.