Perdamaian pada dasarnya dapat dilihat dan dimulai dari suatu senyuman. Tetapi yang menarik ketika kita bertanya kepada siapa pun yang tinggal di salah satu negara paling damai di dunia, malah sebaliknya mungkin akan mengatakan kepada kita bahwa mereka sesungguhnya belum menemukan kedamaian.
Mengapa demikian? Padahal negara-negara yang paling damai ini masih tidak menemui kesulitan yang berarti, dimana masih menikmati suku bunga yang lebih rendah, mata uang yang lebih kuat, dan investasi asing yang lebih tinggi. Belum lagi stabilitas politik yang lebih baik dan korelasi yang lebih kuat dengan tingkat individu dari kebahagiaan yang dirasakan.
Hal yang menyedihkan ketika dampak ekonomi dari kekerasan juga dapat diukur: dalam skala global, pada tahun 2017, jumlah paritas daya beli sebesar $ 14,76 triliun, atau 12,4% dari total produk domestik bruto global (jika skala angka-angka ini membuat sedikit sulit untuk dipahami, karena kita berbicara tentang $ 1.988 untuk setiap orang di planet ini).
Ini adalah hasil yang paling signifikan dari Indeks Perdamaian Global/Global Peace Indeks (GPI) 2018 yang disusun oleh lembaga think-tank internasional untuk Ekonomi dan Perdamaian yang mencakup 163 negara bagian dan teritori independen yang menampung 99,7% dari populasi dunia.
Peringkat, yang didasarkan puluhan indikator yang dikelompokkan ke dalam tiga kriteria yakni keselamatan dan keamanan sosial, tingkat konflik domestik, dan militerisasi pada tingkat internasional menggambarkan kondisi yang serius, dimana perdamaian global menurun sebesar 0,27% pada tahun lalu.
Penurunan tahunan keempat berturut-turut, membuat dunia kurang damai saat ini daripada kapan saja dalam dekade terakhir. Sementara itu, jumlah pengungsi telah meroket menjadi 1% dari populasi global, tingkat tertinggi dalam sejarah modern.
Meskipun tentu tidak mengherankan bahwa banyak ketegangan dan konflik yang berkepanjangan, terutama di Timur Tengah, tetap tidak terselesaikan, bahkan daerah yang paling damai, Eropa, Asia-Pasifik dan terutama Amerika Selatan, mencatat kemunduran.
Dan bagi siapa pun yang bertanya-tanya apakah kebijakan Presiden Amerika “Trump Pertama” bekerja, perlu dicatat bahwa kemungkinan besar dia tidak mengacu pada Indeks Perdamaian Global: Amerika Serikat menjatuhkan tujuh tempat ke 121, jauh di belakang Kuba (81) dan China (114) dan sedikit terlalu dekat dengan negara paling tidak damai di dunia, Suriah (163).
GPI merupakan instrumen untuk mengukur posisi relatif dari kedamaian bangsa dan wilayah. Dalam pengeluaran GPI 2017, menempatkan 163 negara bagian dan teritori independen sesuai dengan tingkat kedamaian masing-masing negara di dunia.
GPI sendiri adalah laporan yang dihasilkan oleh Institut Ekonomi dan Perdamaian (IEP) yang dikembangkan melalui konsultasi dengan panel internasional ahli perdamaian dari lembaga perdamaian dan lembaga think tank dengan data yang dikumpulkan oleh Economist Intelligence Unit.
Indeks pertama kali diluncurkan pada Mei 2007, dengan laporan berikutnya kemudian dirilis setiap tahunnya. Ini diklaim sebagai studi pertama yang memeringkat negara-negara di seluruh dunia sesuai dengan kedamaian yang ada.
Pada tahun 2017 itu peringkat 163 negara, naik dari 121 pada 2007. Dalam dekade terakhir, GPI telah menyajikan tren peningkatan kekerasan global dan kurang kedamaian. Penelitian ini merupakan gagasan pengusaha teknologi Australia Steve Killelea, pendiri Riset Terpadu, dan didukung oleh individu-individu seperti mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, Dalai Lama, uskup agung, Desmond Tutu, mantan Presiden Finlandia dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2008, Martti Ahtisaari, penerima hadiah Nobel, Muhammad Yunus, ekonom, Jeffrey Sachs, mantan presiden Irlandia, Mary Robinson, mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Jan Eliasson, dan mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter.
Rilis indeks ini diperbarui setiap tahunnya di acara-acara di London, Washington, DC; dan di Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York di antara banyak lainnya.
Metode GPI dalam mengukur perdamaian global pada dasarnya menggunakan tiga tema luas yakni, tingkat keselamatan dan keamanan masyarakat, tingkat konflik domestik dan internasional yang sedang berlangsung, dan tingkat militerisasi. Faktornya bersifat internal seperti tingkat kekerasan dan kejahatan di dalam negara dan eksternal seperti pengeluaran militer dan perang.
Meskipun metode ini telah dikritik oleh Riane Eisler karena tidak termasuk indikator khusus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, namun data internasional yang dapat diandalkan pada studi perdamaian ini tidak tersedia atau sangat jarang dilaporkan di banyak negara.
10 Negara Terdamai di Dunia
Berikut adalah 10 negara paling damai di 2018 ber dasarkan Global Peace Index (GPI):
GPI 2017 menunjukkan Islandia, Selandia Baru, Portugal, Austria, dan Denmark menjadi negara paling damai. Sementara Suriah, Afghanistan, Irak, Sudan Selatan, dan Yaman untuk menjadi yang paling tidak damai.
Temuan jangka panjang GPI 2017 termasuk dunia yang kurang damai selama dekade terakhir, 2,14 persen kemerosotan dalam tingkat perdamaian global dalam dekade terakhir, disebabkan meningkatnya ketidaksetaraan dalam perdamaian antara negara yang paling tidak damai, jangka panjang pengurangan dalam domain militarisasi GPI, dan dampak terorisme yang melebar, dengan jumlah orang tewas (yang secara historis) tergolong tinggi dalam insiden teroris selama 5 tahun terakhir.
Analisis GPI dan Posisi Indonesia
Global Peace Index sesungguhnya meggambarkan suatu analisis bahwa keadaan damai di seluruh dunia bersifat relatif, sehingga kedamaian bangsa masih dapat berubah apabila setiap negara mempunyai kemauan politik dan intensi untuk mencegah konflik.
Dalam menempatkan GPI, nampak cukup rumit karena terdapat 22 indikator yang digunakan atas keberadaan tidak hadirnya elemen kekerasan atau ketakutan akan kekerasan. Indikator awalnya dipilih dengan bantuan panel internasional ahli independen pada tahun 2007 dan telah ditinjau oleh panel ahli secara tahunan.
Indikator dibagi tentang bagaimana perdamaian secara internal dan eksternal suatu negara.Dalam konteks “perdamaian internal”, dapat dilihat dari sisi tingkat kriminalitas yang dirasakan dalam masyarakat, jumlah petugas keamanan internal dan polisi per 100.000 orang, jumlah pembunuhan per 100.000 orang, jumlah populasi yang dipenjara per 100.000 orang, kemudahan akses ke senjata kecil dan senjata ringan, tingkat konflik terorganisir (internal), kemungkinan demonstrasi kekerasan, dan tingkat kejahatan kekerasan.
Selain itu, ketidakstabilan politik, skala terror politik, volume transfer senjata konvensional utama, sebagai penerima (impor) per 100.000 orang, aktivitas teroris, serta jumlah kematian akibat konflik dan terorganisir (internal).
Sedangkan dalm konteks “perdaimaian eksternal” dilihat dari sisi pengeluaran militer atau budget pertahanan sebagai persentase dari PDB, jumlah personil layanan bersenjata per 100.000, sumbangan keuangan untuk misi pemeliharaan perdamaian PBB, kemampuan senjata nuklir dan berat, volume transfer senjata konvensional utama sebagai pemasok (ekspor) per 100.000 orang dan jumlah orang yang dipindahkan sebagai persentase dari populasi.
Dalam perkembangan mutakhir, indikator penting juga dapat dilihat dari hubungan dengan negara tetangga, jumlah konflik eksternal dan internal yang bersifat bersenjata, dan permintaan jumlah kematian akibat konflik terorganisir (eksternal).
Mencermati dari hasil GPI dan posisi Indonesia sesungguhnya patut dipertanyakan, karena secara faktual Indonesia adalah negara yang justru masih menduduki peringkat ke 55, dibandingkan Serbia, Sinegal, Laos, Lithuania, Sierra Leone dan Taiwan yang masih lebih damai dan kedudukannya berada dalam urutan di atas Indonesia yang notabene sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Untuk menjawab persoalan Indonesia dalam posisinya mengapa relatif buruk dalam Indeks Perdamaian Global, salah satunya dapat dilihat dari indikator ketidakstabilan dan teror politik yang terjadi dalam satu dekade terakhir.